Saturday, October 17, 2009

Realitas Kebudayaan Dalam Sejarah Peradaban Manusia

Keberlangsungan kehidupan masyarakat sangat ditentukan oleh dua hal yaitu sumber pangan dan energi. Sadar atau tidak, kebudayaan yang merupakan hasil dari pemikiran dan praktek kehidupan masyarakat itu sebenarnya bertumpu pada interaksi masyarakat dengan sumber pangan dan energi mereka.

Hal ini mestinya bisa kita amati dengan mudah. Akan tetapi persoalan mengenai landasan tumbuh-kembangnya kebudayaan ini bisa menjadi sulit jika makna dari kebudayaan itu dipersempit sehingga hanya mencakup satu segi saja dari kehidupan masyarakat. Jika kita mau membuka pandangan kita dan melihat kebudayaan sebagai wujud dari beragam aktifitas kemasyarakatan, maka kita akan bisa mengamati faktor-faktor yang menjadi landasan dan juga faktor-faktor pembentuk kebudayaan. Di samping itu, dengan sudut pandang yang luas ini, kita juga bisa mewaspadai hal-hal yang mungkin akan membahayakan keberlangsungan suatu kebudayaan.

Untuk mendapatkan kejelasan yang lebih utuh, tidak ada salahnya jika kita coba menggali pemahaman tentang tumbuh kembang kebudayaan berdasarkan fakta-fakta yang bisa kita amati dari catatan-catatan sejarah peradaban manusia.

Jaman Kuno

Pada jaman dulu, mayoritas aktifitas manusia ditenagai oleh kekuatan jasmani manusia itu sendiri dan kekuatan mahluk-mahluk hidup yang telah berhasil mereka domestikasi. Karena manusia dan hewan mengandalkan makanan sebagai sumber kekuatan jasmani mereka, maka kebudayaan mereka lebih didominasi oleh interaksi antar manusia dengan sumber pangan. Dalam hal ini, makanan sekaligus berperan sebagai sumber energi utama bagi aktifitas kemasyarakatan seperti transportasi, produksi, rekreasi, edukasi, komunikasi dan administrasi. Pemanfaatan sumber energi lain di luar tenaga jasmani manusia dan tenaga hewan masih sangat minim. Aliran air dan angin sudah mulai dimanfaatkan sebagai sumber tenaga untuk kepentingan industri skala kecil maupun kegiatan pertanian dalam bentuk kincir untuk penggilingan tepung gandum. Dalam kegiatan pelayaran, manusia juga sudah sejak lama memanfaatkan tenaga angin dengan membangun perahu-perahu layar. Akan tetapi, kegiatan eksplorasi kelautan masih sangat minim di jaman kuno. Untuk transportasi di daratan, mereka bergantung pada tenaga mereka sendiri dan juga tenaga hewan.

Keberlimpahan pangan akan mendorong masyarakat untuk mampu mengembangkan berbagai aktifitas lain di luar kegiatan pengadaan pangan. Aktifitas lain itu mencakup kesenian, pendidikan dan teknologi. Hasrat pada keindahan dan pengetahuan akan lebih mudah untuk disalurkan pada saat perjuangan untuk menyediakan makanan sudah tidak menguras banyak waktu dan tenaga manusia lagi. Kesenian, pengetahuan dan teknologi akan cenderung berkembang pesat pada masa-masa seperti ini.

Produksi pangan yang sedikit otomatis akan membuat sebagian besar anggota masyarakat yang bersangkutan harus terlibat langsung dengan kegiatan pengadaan pangan, dan akibatnya hanya tersisa sedikit orang yang bisa memusatkan perhatiannya pada bidang-bidang lain di luar pengadaan pangan. Kesenian, pengetahuan dan teknologi akan cenderung stagnan atau malah merosot pada masa-masa seperti ini.

Untuk contoh kasus masyarakat jaman dahulu bisa kita lihat pada perbedaan kebudayaan masyarakat menetap dengan masyarakat nomaden.

Di kalangan masyarakat menetap, ketersediaan pangan cenderung tercukupi dan hasil panen cukup mampu untuk memenuhi kebutuhan pangan anggota masyarakat yang tidak terlibat dengan kegiatan pertanian. Pendidikan dan kesenian bisa berkembang dengan cukup bagus. Ilmu pengetahuan dan teknologi juga ikut menikmati masa pertumbuhan yang cukup bagus. Dari tengah kumpulan masyarakat menetap itu, biasanya muncul kalangan seniman dan cendekiawan yang memajukan seni serta ilmu pengetahuan di tengah masyarakatnya. Jika masyarakat tersebut sanggup mempertahankan keberlimpahan hasil panennya, maka pertambahan jumlah penduduk akan bisa diimbangi oleh ketersediaan pangan. Tingginya angka pertumbuhan penduduk bisa mereka imbangi dengan ketersediaan pangan. Ini membuat masyarakat menetap dapat menumbuhkan lebih banyak cendekiawan dan seniman di tengah kalangan mereka. Dan keunggulan tersebut lebih mempercepat kemajuan ilmu pengetahuan serta teknologi mereka sehingga bisa menghasilkan mesin-mesin perang yang lebih superior dibandingkan masyarakat sekitarnya. Sejarah kerajaan-kerajaan jaman kuno membuktikan bahwa kemajuan seni dan teknologi didominasi oleh peranan dari masyarakat menetap yang punya keunggulan dalam penyediaan pangan secara berlimpah.

Di kalangan masyarakat nomaden jaman kuno, produksi pangan yang bisa mereka hasilkan biasanya tidak begitu banyak. Oleh karenanya, mereka harus mengerahkan sebagian besar anggota masyarakatnya untuk terlibat dalam kegiatan penyediaan pangan. Hanya sedikit orang yang tersisa untuk mengembangkan kesenian dan teknologi serta ilmu pengetahuan. Minimnya ketersediaan pangan ini juga mengakibatkan pertumbuhan jumlah penduduk tidak selalu bisa diikuti oleh ketersediaan pangan. Akibatnya, pertumbuhan jumlah penduduk di kalangan masyarakat nomaden cenderung rendah. Tidak banyak seniman maupun cendekiawan yang bisa mereka lahirkan. Walaupun pada awalnya mereka memiliki keunggulan dalam kecepatan gerak dibandingkan masyarakat menetap. Akan tetapi secara perlahan-lahan mereka tetap kalah oleh superioritas jumlah penduduk dan teknologi masyarakat menetap. Kesenian yang berhasil mereka kembangkan juga tidak memiliki ragam yang luas dan cenderung merupakan hasil adaptasi dari kegiatan praktis mereka sehari-hari. Ilmu pengetahuan juga tidak banyak berkembang di kalangan masyarakat nomaden jaman kuno itu. Memang benar, mobilitas yang tinggi membuat mereka memegang peranan penting sebagai perantara di dalam proses alih teknologi di antara masyarakat-masyarakat menetap. Akan tetapi, karena fokus mereka lebih terarah pada upaya pemenuhan kebutuhan pangan, maka mereka tidak mampu memaksimalkan perkembangan teknologi yang ikut mereka sebar-luaskan itu. Imperium Mongol yang dibangun oleh Genghis Khan adalah geliat terakhir masyarakat nomaden sebelum akhirnya tunduk terhadap dominasi masyarakat menetap. Sekarang ini, suku-suku nomaden di stepa Mongolia hanya dipandang sebagai suku-suku eksotis yang layak untuk menjadi obyek wisata.

Dari sini kita bisa melihat bahwa pada jaman kuno, perkembangan suatu kebudayaan dan juga eksistensi masyarakat ditentukan oleh interaksi mereka dengan sumber pangan. Pada jaman itu, makanan menjadi landasan pertumbuhan kebudayaan karena makanan memegang peranan ganda sekaligus sebagai sumber energi bagi aktifitas masyarakat.

Jaman Modern

Kehidupan masyarakat modern ditandai oleh kemajuan pesat ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang penyediaan sumber pangan dan energi. Tonggak sejarah masyarakat modern adalah revolusi industri yang berpusat di wilayah Eropa. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di kalangan masyarakat barat telah memampukan mereka untuk mengembangkan berbagai macam mesin yang sanggup menggantikan sebagian peranan manusia dalam proses produksi. Akibatnya, kapasitas produksi mereka yang tadinya sangat sedikit berubah menjadi luar biasa besarnya. Kualitas produk juga menjadi relatif seragam karena mesin-mesin itu bekerja dalam satuan ukur yang cenderung tetap dan tidak kenal lelah. Sebelumnya, kapasitas produksi sangat ditentukan oleh kemampuan dan kekuatan manusia atau hewan. Manusia dan hewan memiliki batas kekuatan dan stamina yang sangat pendek dan jika batas tersebut dilewati, maka jumlah serta kualitas produk akan mengalami penurunan. Pengembangan mesin-mesin produksi merevolusi semua itu. Mesin-mesin memiliki batas kekuatan dan ‘stamina’ yang jauh melampaui manusia dan hewan. Akibatnya, terjadilah lonjakan kapasitas poduksi yang diikuti oleh keseragaman kualitas hasilnya. Mulailah muncul barang-barang produksi massal yang memiliki keunggulan skala ekonomi serta keseragaman kualitas. Bisnis-bisnis yang masih mengandalkan kapasitas produksinya dari kekuatan dan kemampuan manusia atau hewan mulai tergusur dan akhirnya mati. Hanya bisnis dengan produk yang tidak bisa, atau belum bisa, ditiru kualitasnya oleh mesin industri massal yang masih bisa mempertahankan keberlangsungan hidupnya.

Revolusi industri juga memberi angin segar bagi pertumbuhan paham materialisme yang nantinya akan terpecah menjadi kapitalisme dan komunisme. Paham kapitalisme pada tahap awal pertumbuhannya bertumpu pada prinsip individualisme dan persaingan bebas (free fight liberalism). Dampak utama dari penerapan kedua prinsip tersebut adalah munculnya eksploitasi tenaga kerja manusia serta munculnya pola-pola persaingan yang tidak sehat seperti kecenderungan munculnya pelaku bisnis kuat yang memonopoli pasar dan sebagainya.

Ekses buruk dari penerapan prinsip tersebut kemudian menumbuhkan reaksi penolakan dan berujung pada munculnya paham komunisme yang menekankan pada semangat kolektifitas. Kaum komunis ini berniat untuk menerapkan kolektifisme dengan cara apapun, bahkan dengan kekerasan. Paham komunisme ini, walaupun sudut pandangnya berbeda dengan paham kapitalisme, yakni kolektifisme versus individualisme, tetap saja merupakan paham yang bersumber pada materialisme yang merendahkan harkat manusia ke tingkat faktor produksi saja (konsep yang masih dipegang teguh oleh ilmu ekonomi modern!). Paham materialisme memandang manusia tidak lebih tinggi kedudukannya dari mesin, tanah dan uang. Akibatnya, paham komunisme inipun memiliki ekses buruk berupa eksploitasi tenaga manusia, suatu tragedi yang sangat menyedihkan. Paham komunisme tadinya dimaksudkan untuk membebaskan kaum buruh dari eksploitasi para majikannya, namun belakangan – pada saat komunisme sempat meraih masa jayanya – kaum buruh ini akhirnya jatuh ke dalam eksploitasi oleh para penguasa.

Di luar masalah perbenturan paham tersebut, masyarakat barat mulai menikmati hasil dari produksi massal dalam bentuk keberlimpahan produk, harga yang relatif murah dan kualitas yang cenderung seragam. Pada awalnya, pasar Eropa masih bisa menyerap hasil dari lonjakan kapasitas produksi tersebut. Akan tetapi, hal ini tidak berlangsung lama. Kebutuhan pengembangan pasar untuk menyerap limpahan hasil produksi massal ini kemudian melahirkan kolonialisme modern. Jika sebelumnya aktifitas kolonialisme lebih ditujukan untuk mengejar sumber-sumber kekayaan eksotis seperti emas dan rempah-rempah, maka kolonialisme modern lebih dilandasi oleh kepentingan pengembangan pasar serta pengamanan sumber bahan baku produksi bangsa-bangsa barat.

Di tahap awal revolusi industri, baru aktifitas produksi yang mengalami perubahan besar. Namun hal ini sudah merupakan titik awal munculnya sumber energi yang independen bagi aktifitas kemasyarakatan. Peranan bahan bakar sebagai sumber energi menunjukkan tanda yang terus menguat. Pemanfaatan mesin lalu diperluas ke aktifitas transportasi. Muncullah kapal-kapal laut dan kendaraan angkutan darat yang digerakkan oleh mesin. Belakangan, aktifitas masyarakat yang lain juga mulai ditenagai oleh sumber energi yang terpisah dari sumber pangan ini. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di berbagai bidang telah membuat mesin menjadi semakin pintar dan mampu menggantikan banyak peran manusia di dalam menjalankan aktifitasnya. Dalam hal aktifitas administrasi, contoh yang paling nyata adalah mesin-mesin ATM yang mulai menggantikan peran kasir bank di dalam melayani kegiatan keuangan para nasabah bank. Teknologi komunikasi juga mulai memungkinkan kegiatan serta hasil kegiatan manusia disiarkan ke berbagai penjuru dunia, dan ini membuat aktifitas edukasi dan rekreasi bisa menjangkau tempat-tempat yang jauh dari lokasi di mana aktifitas-aktifitas tersebut berlangsung. Teknologi komputer semakin membuka peluang bagi mesin untuk terlibat semakin jauh di dalam beragam aktifitas masyarakat. Komputer memungkinkan mesin-mesin untuk menghasilkan berbagai macam variasi produk dalam jumlah yang kecil-kecil namun tetap berada pada tingkat efisiensi yang tinggi. Semua ini menimbulkan kebutuhan baru di kalangan penduduk dunia pada umumnya, yakni kebutuhan untuk mengamankan ketersediaan sumber bahan bakar serta sumber listrik bagi mesin-mesin mereka. Tanpa bahan bakar dan sumber listrik, maka mesin-mesin mereka tidak bisa bergerak, dan itu bisa berarti kerugian besar bagi mereka.

Seiring dengan munculnya revolusi industri, masyarakat barat sempat terbius oleh potensi pemanfaatan mesin sebagai pengganti tenaga manusia dan hewan untuk menjalankan berbagai macam kegiatan mereka. Sektor pertanian, yang tadinya merupakan tulang punggung perekonomian mereka, mulai digusur oleh sektor industri dan sektor pertanian ini sempat diabaikan karena mengandalkan kemampuan alat-alat transportasi dalam memasok kebutuhan pangan mereka.

Peristiwa yang paling menyadarkan bangsa-bangsa barat akan perlunya kemandirian pangan adalah Perang Dunia I dan II. Setelah kedua perang besar itu, tumbuh kesadaran luas di kalangan bangsa barat bahwa kemandirian pangan adalah hal yang mutlak harus dikejar. Kedua perang besar ini mengajarkan betapa rawannya kondisi ketersediaan pangan yang mengandalkan pada pasokan bahan pangan dari luar negeri. Prestasi satuan U-Boat milik Angkatan Laut Jerman di dalam mengacaukan jalur kapal angkut dari Amerika Serikat ke Inggris sungguh mengejutkan. Setiap saat pihak Jerman bisa menenggelamkan kapal angkut yang sedang membawa bahan makanan dan juga bahan baku industri yang sangat dibutuhkan oleh Inggris. Jaminan pasokan pangan dari negara lain itu ibarat tali rapuh yang tidak boleh dijadikan tempat bergantung. Yang menjadi taruhannya bukan sekedar macetnya pertumbuhan kebudayaan, melainkan eksistensi dari bangsa itu sendiri.

Dari lingkungan Asia, pengalaman bangsa Cina bisa kita jadikan bahan pelajaran. Pada periode akhir jaman dinasti Ming, kekaisaran Cina terjun aktif dalam kegiatan ekonomi global. Dampak dari aktifitas ekonomi global tersebut adalah terpengaruhnya para petani bangsa Cina saat itu untuk mengisi lahan mereka dengan tanaman-tanaman yang harga jualnya jauh melampaui gandum dan padi. Mulai dari tanaman industri sampai dengan candu di tanam oleh para petani bangsa Cina dengan mengorbankan lahan produksi pangan. Akibatnya adalah timbulnya bala kelaparan yang hebat. Kelaparan ini mendorong terjadinya goncangan politik yang memunculkan banyak pemberontakan di kalangan petinggi militer saat itu. Gawatnya siatuasi saat itu ditanggapi oleh seorang jendral penjaga perbatasan di sebelah utara dengan mengundang campur tangan bangsa Manchu. Masuknya bangsa Manchu memang meredakan kembali situasi politik di wilayah Cina. Akan tetapi hal itu juga menjadi awal dari tampilnya dinasti Ching dari bangsa Manchu yang nota bene adalah bangsa asing di mata bangsa China. Keteledoran di dalam mempertahankan kemandirian pangan harus ditebus dengan masuknya kekuasaan bangsa asing di Cina.

Dinasti Ching ini sendiri ternyata juga tidak memahami arti penting kemandirian pangan bagi suatu bangsa. Mereka baru sadar akan bahaya yang mengancam ketika melihat bangsa China sudah sangat dalam dikuasai oleh candu. Upaya pembenahan yang ingin dilakukan oleh dinasti Ching tidak membuahkan hasil yang menggembirakan. Mereka justru kalah menghadapi kekuatan militer bangsa-bangsa barat dalam Perang Candu. Ganti rugi dan konsesi yang dituntut oleh bangsa-bangsa barat (sebagai pemenang Perang Candu) justru membuat Dinasti Ching semakin lemah secara ekonomi dan politik. Dinasti Ching akhirnya tumbang pada awal abad ke-20, dan penyebab utamanya adalah keteledoran mereka yang tidak segera membangun ketahanan pangan pada titik awal masa kekuasaan mereka.

Di sisi lain, kebijakan yang ditempuh oleh bangsa Jepang mungkin bisa kita jadikan pelajaran juga. Demi mempertahankan kemandirian pangannya, bangsa Jepang rela mensubsidi petani lokal dengan biaya yang sangat mahal sambil mempersulit impor beras ke negeri Jepang. Hasilnya, Jepang tidak perlu menguatirkan munculnya resiko bala kelaparan. Bangsa lain juga tidak bisa mengganggu ketahanan pangan bangsa Jepang ketika terjadi Perang Dunia II.

Demikianlah, tumbuh kembang kebudayaan di jaman modern memiliki pola yang sangat rumit. Lonjakan kapasitas produksi yang terjadi akibat revolusi industri telah melahirkan satu arus pandangan baru yang dengan cepat meluas ke seluruh dunia. Pandangan itu adalah materialisme, entah dalam wujud kapitalisme ataupun komunisme (berikut pandangan-pandangan yang merupakan adaptasi dari keduanya). Lonjakan produktifitas di segala bidang ini melahirkan keyakinan diri yang sangat berlebihan di kalangan pendukung materialisme. “God is dead,” demikian kata Nietzsche. Suatu ungkapan yang ingin menegaskan bahwa materialisme lebih sukses dibandingkan ajaran agama dalam menopang kelanjutan hidup peradaban manusia. Pengaruh materialisme ini merasuk ke dalam semua bidang ilmu pengetahuan dalam bentuk filsafat empirisme. Hasilnya adalah lompatan-lompatan penemuan di bidang iptek di kalangan masyarakat barat.

Kesimpulan

Dari fakta-fakta sejarah peradaban umat manusia tersebut, kita bisa melihat bahwa tumbuh kembang kebudayaan tidak pernah lepas dari dukungan ketersediaan pangan dan energi. Di jaman kuno, sumber pangan memegang peranan ganda sekaligus sebagai sumber energi. Di jaman modern, dengan kemunculan mesin-mesin yang ditenagai oleh bahan bakar dan juga listrik, peranan ganda sumber pangan semakin mengecil. Sekarang ini, bahan bakar dan sumber listrik memiliki kedudukan yang setara dengan sumber pangan sebagai landasan bagi tumbuh kembangnya kebudayaan suatu masyarakat.

Masuknya mesin ke dalam berbagai macam aktifitas kemasyarakatan berdampak pada lonjakan kapasitas produksi dari masing-masing aktifitas yang bersangkutan. Aktifitas komunikasi, transportasi, rekreasi, edukasi dan administrasi mengalami perkembangan yang semakin hari semakin mengejutkan bagi banyak orang.

Perbedaan dalam cara menanggapi dan beradaptasi dengan segala macam perkembangan itu membuat tumbuh kembang kebudayaan di banyak kalangan masyarakat mengalami pasang surut dan interaksi yang sangat rumit. Ada kalangan yang sangat terbuka dan gesit menyambut perkembangan baru. Ada yang mencoba bersikap hati-hati dan menyusun saringan bagi proses adaptasi terhadap perkembangan yang ada. Ada lagi yang frustrasi dan mengambil sikap menolak mentah-mentah situasi masa kini sambil mengagungkan keadaan di masa lalu (baik dengan landasan agamis maupun yang feodalis). Ada pula yang frustrasi lalu bingung bagaimana harus bersikap.

Anggota masyarakat dari semua kalangan (dari bangsa-bangsa barat sampai ke bangsa-bangsa timur) harus berbenturan dengan kekinian yang telah diledakkan oleh revolusi industri ini. Tidak ada jalan untuk menghindarinya. Yang terpenting bagi kita adalah bagaimana menyikapi benturan antara diri kita dengan kekinian tersebut.

No comments:

Post a Comment