Thursday, October 15, 2009

Indonesia: negara kepulauan berwatak agraris

Jika dilihat dari fakta geografisnya, mayoritas wilayah negara kita adalah wilayah laut. Hanya sepertiga saja dari wilayah negara kita yang merupakan wilayah daratan. Dari segi historisnya, pada jaman dahulu, wilayah nusantara ini menjadi ajang perebutan pengaruh antara berbagai macam kerajaan maritim. Pada jaman dahulu, kerajaan-kerajaan nusantara yang berhasil menguasai wilayah cukup besar adalah kerajaan-kerajaan maritim.

Semua fakta ini seharusnya membangun watak bangsa kita menjadi suatu bangsa maritim. Akan tetapi, kenyataannya, bangsa kita justru dengan bangga memperkenalkan diri sebagai bangsa agraris. Mengapa? Pengamatan sekilas terhadap sisi sejarah bangsa ini mungkin akan bisa memberi sedikit petunjuk mengenai keanehan yang terjadi dengan bangsa kita ini.

Dimulai dari masa kejayaan Sriwijaya di Sumatera. Pada masa kejayaannya, ibukota Sriwijaya menjadi salah satu pusat kebudayaan yang cukup dihormati di kawasan Asia. Banyak bhiksu dari kalangan Budha berdatangan ke ibukota Sriwijaya untuk menuntut ilmu. Kekuatan angkatan laut Sriwijaya cukup disegani di wilayah perairan Asia Selatan dan Timur. Armada dagang Sriwijaya juga merupakan salah satu armada dagang yang aktif berdagang sampai jauh ke India dan juga ke China. Pertumbuhan dan kebesaran Sriwijaya dibangun dengan tumpuan kekuatan maritimnya. Dengan visi maritimnya, kerajaan Sriwijaya mendapatkan dua macam keuntungan. Pertama adalah volume perdagangan yang sangat besar karena membangun pola perdagangan antar pulau dan antar kerajaan yang tersebar di mana-mana. Kedua adalah pengendalian atas jalur perdagangan di wilayah yang dekat dengan kerajaan Sriwijaya. Pengendalian ini memberi keuntungan berupa pajak perdagangan yang sangat besar jumlahnya. Dan hasil dari visi maritim ini adalah tumbuhnya suatu kerajaan maritim yang kaya, disegani serta menguasai wilayah yang cukup luas.

Kerajaan maritim berikutnya yang mempunyai wilayah luas adalah Majapahit. Sebenarnya pengiriman berbagai ekspedisi armada laut sebenarnya sudah dilakukan oleh raja Kertanegara dari Singasari, akan tetapi sifat dari ekspedisi-ekspedisi tersebut baru sebatas menjalin persekutuan untuk menghadapi invasi dari China - yang saat itu sedang dikuasai oleh dinasti Yuan dari bangsa Mongol. Dengan runtuhnya Singasari, yang kemudian disusul oleh kejatuhan Kediri melalui pemanfaatan kekuatan ekspedisi militer kekaisaran China oleh Raden Wijaya, maka berdirilah kerajaan Majapahit. Kerajaan Majapahit merupakan kerajaan maritim yang aktif mengirim ekspedisi dalam rangka penguasaan wilayah. Cukup banyak kerajaan nusantara yang berhasil dimasukkan ke dalam wilayah kerajaan Majapahit. Prestasi puncak dari kegiatan penyatuan wilayah ini adalah pada masa administrasi maha patih Gajah Mada yang bekerja di bawah raja Hayam Wuruk. Wilayah yang dikuasai oleh Majapahit menjangkau mulai dari Campa (Kamboja sekarang ini) sampai ke pulau-pulau kecil di sebelah timur seperti kepulauan Maluku dan Nusa Tenggara.

Ketika kerajaan Majapahit mengalami keruntuhan, posisinya digantikan oleh kerajaan Demak yang masih memiliki karakter maritim. Keberhasilan Demak untuk menjalin persekutuan dengan Malaka membuat jalur perdagangan Majapahit terhambat dan mempercepat keruntuhan kerajaan Majapahit. Walaupun wilayah kekuasaan Demak tidak begitu luas, tetapi masih sanggup menjangkau berbagai pulau dan memiliki kedudukan politik dan kekuatan angkatan laut yang sangat disegani di wilayah perairan nusantara.

Keruntuhan Demak yang dilanjutkan dengan munculnya kerajaan Pajang merupakan titik balik yang menandai kebangkitan karakter agraris dan kejatuhan karakter maritim. Kerajaan Pajang adalah kerajaan agraris yang mengambil alih tongkat estafet kepemimpinan utama di wilayah pulau Jawa. Karena mengandalkan kekuatan tentaranya pada masyarakat petani, maka runtuhlah karakter maritim dari kerajaan besar nusantara yang selama ini dibangun oleh Sriwijaya, Majapahit dan Demak.

Munculnya kerajaan Mataram sebagai penerus kerajaan Pajang semakin menegaskan kehancuran karakter maritim dari bangsa Indonesia ini. Kerajaan Mataram adalah kerajaan yang murni bertumpu pada masyarakat petani sebagai sumber kekuatan militernya. Kerajaan lain di wilayah nusantara tidak memiliki cukup kekuatan untuk bangkit dan menguasai wilayah yang cukup luas. Baik kerajaan Banten dan Cirebon di wilayah pulau Jawa, maupun kerajaan Makasar, Banjar serta Ternate dan Tidore di luar wilayah pulau Jawa, semuanya tidak tidak cukup kuat untuk mengembangkan wilayah kekuasaannya.

Masuknya bangsa Eropa ke wilayah nusantara – yang berlanjut dengan penjajahan berabad-abad oleh Belanda di Indonesia – seharusnya menyentak kesadaran bangsa kita untuk bisa membangun kembali kekuatan maritim, membangun kendali atas jalur perdagangan dan meningkatkan volume perdagangan antar pulau. Akan tetapi, kerajaan Mataram ternyata tidak bergeming. Kerajaan ini tetap mengandalkan diri pada masyarakat petani dan mengabaikan visi maritim. Akibatnya, pihak penjajah Belanda bisa dengan seenak hati menguasai begitu banyak wilayah di kepulauan nusantara ini dengan memanfaatkan kelemahan maritim dari kerajaan Mataram dan kerajaan-kerajaan lain di wilayah nusantara.

Memasuki masa kemerdekaan, seharusnya kita mengambil kesempatan tersebut untuk membangun kembali watak maritim bangsa Indonesia. Namun, apa boleh buat, dua pemimpin pertama bangsa kita adalah orang-orang yang bertumbuh dari kalangan agraris. Hasilnya, watak agraris justru menjadi semakin subur di kalangan bangsa Indonesia. Visi pengembangan wilayah laut hanya menjadi slogan tanpa isi. Kekayaan laut kita hanya menjadi ajang penjarahan oleh pihak-pihak asing.

Angin segar sempat berhembus ketika, di masa reformasi, Presiden Gus Dur membentuk kementrian yang secara khusus mengurus wilayah laut Indonesia. Akan tetapi, karena terlalu getol melakukan akrobat politik, Gus Dur akhirnya tumbang dan digantikan oleh Megawati sebagai presiden. Masa kepresidenan Megawati tidak banyak menghasilkan apa-apa bagi kepentingan maritim Indonesia. Tongkat kepemimpinan kemudian beralih ke SBY sebagai presiden. Akan tetapi, visi yang diajukan oleh SBY juga tidak banyak menggugah rakyat untuk mau memahami bahwa seharusnya kita ini menjadi bangsa maritim, dan bukannya bangsa agraris.

Pada hemat saya, sudah saatnya kita menyadari bahwa fakta geografis negara kita adalah negara kepulauan dan oleh karenanya, watak yang harus kita bangun adalah watak sebagai bangsa maritim. Bangsa yang berhasil membangun karakternya dengan mengikuti kondisi alam wilayahnya akan mampu mengolah diri dan lingkungannya secara maksimal. Kalau kita terus menerus berkutat dengan sugesti bahwa kita ini adalah bangsa agraris, maka kita tidak akan pernah mampu mengolah wilayah laut kita dengan baik. Laut seharusnya kita pandang sebagai lambang kemakmuran (melalui armada kapal niaga), lambang kekuatan (melalui pengendalian jalur perdagangan laut) dan lambang kemajuan (melalui eksplorasi serta pengolahan kekayaan laut). Sudah saatnya kita membangun kembali watak maritim yang telah tenggelam selama berabad-abad ini.

No comments:

Post a Comment