Tuesday, May 18, 2010

RAKYAT DAN PENGUASA

Gemah ripah loh jinawi adalah ungkapan kuno yang ingin menggambarkan betapa kayanya negeri kita. Kekayaan bahan tambang, kesuburan tanah, iklim yang hangat dan basah serta posisi di salah satu perlintasan maritim tersibuk di dunia. Semua itu adalah kombinasi yang akan membuat iri bangsa-bangsa lain. Dan kombinasi ini tentunya akan membuat anak negeri selalu menikmati keadaan yang gemah ripah loh jinawi tersebut.

Sayangnya, kalau sekarang ini kita disuruh untuk mengajukan contoh negeri yang gemah ripah loh jinawi itu, besar kemungkinan kita terpaksa mengajukan negeri lain sebagai contohnya, bukan negeri kita sendiri. Kalau kita disuruh untuk menggambarkan keadaan negeri sendiri, maka gambaran yang akan kita ajukan itu akan terlihat aneh: “Sangat subur, tetapi harus membeli berbagai bahan pangan dari negeri-negeri lain; punya banyak sumber energi tetapi harus membeli energi dari negara lain; sangat kaya, tetapi harus mengirim banyak warganya untuk menjadi babu di negeri orang.”

Gambaran semacam ini tentulah ada penyebabnya. Mengapa gambaran tentang negeri kita bisa sedemikian anehnya? Kerbau yang diajak berdemonstrasi oleh para mahasiswa pada bulan Januari yang lalu mungkin punya sedikit jawaban. Namun, kita tentunya tidak bisa mengandalkan jawaban dari sang kerbau.

Kalau kita ajukan pertanyaan seperti ini: “Mengapa Iran bisa berkembang sangat pesat di tengah tekanan hebat negara-negara Barat selama puluhan tahun? Mengapa industri perminyakan Iran sekarang mampu bersaing ketat di kancah perebutan proyek pengeboran dan pengilangan minyak global? Mengapa Iran bisa sampai pada teknologi pengayaan uranium yang membuat negara-negara Barat kalang kabut? Mengapa Iran bisa memproduksi rudak balistik yang sanggup menjangkau sebagian wilayah Eropa Timur? Bagaimana kalau kita bandingkan dengan negeri kita yang tidak mengalami tekanan sedahsyat yang dialami oleh Iran?”

Jawaban apa yang bisa diajukan oleh sang kerbau? Dari sini kita bisa melihat bahwa kita tidak bisa mengandalkan sang kerbau untuk menjawab dan memberi solusi atas karut-marut gambaran negeri kita. Apa boleh buat, keadaan memang memaksa kita untuk mencari pencerahan dari sumber lain.

Dan pencerahan terbaik tentunya adalah pencerahan yang bersumber dari lingkungan sendiri. Dengan demikian, maka kita boleh berharap bahwa pencerahan yang akan kita gali nanti bisa cepat kita akrabi dan kita jalankan.

Kalau dilihat dari ukuran waktu, maka pencerahan itu bisa bersumber dari masa kini dan masa lalu. Untuk sumber dari masa kini, kita bisa menyimak beragam pendapat yang dilontarkan oleh para pakar dan komentator yang banyak kita miliki. Dan kita tidak perlu repot-repot untuk bertanya kepada para pakar tersebut. Mereka sudah sangat aktif melontarkan pendapat dan analisa mereka lewat berbagai saluran komunikasi yang ada. Untuk jawaban dari masa lalu, maka kita bisa menelusuri warisan pemahaman nenek moyang kita tentang kehidupan berbangsa dan bernegara. Warisan-warisan tersebut bisa tersaji dalam bentuk tertulis maupun lisan. Kita tidak mungkin mencari jawaban dari masa depan, generasi masa depan belum lahir.

Esai ini dimaksudkan untuk menggali jawaban dari masa lalu. Bersiaplah untuk menikmati aroma kemenyan dan rangkaian jampi-jampi dari masa lalu.

Warisan yang cerdas
Nenek moyang kita tergolong rajin dalam menyiapkan warisan pengetahuan bagi anak-cucu mereka. Kitab-kitab kuno, gulungan-gulungan daun lontar dan batu-batu prasasti yang berlimpah adalah buktinya.

Bidang kajian yang mereka jelajahi juga sangat banyak. Mulai dari urusan sehari-hari sampai dengan urusan menghitung hari; mulai dari urusan tolak angin sampai dengan urusan tolak bala; mulai dari urusan rumah tangga sampai dengan urusan negara. Hampir semua bidang kehidupan masuk dalam daftar kurikulum mereka.

Dalam bidang eksakta murni, nenek moyang kita memang tidak menunjukkan minatnya. Laboratorium mereka lebih banyak menghasilkan ramuan dan jampi-jampi ketimbang teori fisika, biologi dan kimia.

Hal ini dipengaruhi oleh apresiasi mereka yang lebih mengarah ke aspek praktis dari suatu pengetahuan. Pengetahuan yang diarahkan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan itu sendiri, cenderung akan diabaikan oleh nenek moyang kita. Menara gading adalah tempat yang mereka hindari. Mungkin karena mereka takut berdiam dalam menara yang retak. Bukankah tak ada gading yang tak retak?

Namun, untuk bidang kajian yang bersifat praktis, prestasi dan kualitas warisan nenek moyang kita tidak kalah daripada hasil olah pikir para cendekiawan modern. Ilmu pengobatan, pertanian, pelayaran, perdagangan, politik dan etika mereka wariskan dengan sangat berlimpah dan cukup layak untuk terus dipakai di jaman sekarang.

Begitu banyaknya warisan tertulis di berbagai bidang terapan tersebut, sampai-sampai kita terpaksa harus menyimpan dan memeliharanya bersama-sama dengan bangsa lain. Ada banyak warisan tertulis dari nenek moyang kita yang mendekam di negeri Belanda dan negeri-negeri yang lain. Sebab musabab dari perpindahan kitab-kitab dan gulungan-gulungan lontar tersebut memang tidak jelas. Dibeli, dirampas, dicuri atau dipinjam? Satu hal yang jelas adalah bahwa warisan tertulis nenek moyang kita memang sangat berlimpah.

Politik adalah salah satu bidang kajian yang paling banyak dibahas oleh nenek moyang kita. Pola pembahasan yang mereka pakai cenderung sederhana dan memakai bahasa gambar.

Pokok-pokok yang mereka bahas adalah pokok-pokok yang rumit dan memiliki banyak aspek yang bisa melahirkan banyak PhD bidang ilmu politik untuk ukuran jaman sekarang. Akan tetapi mereka mampu menguraikan pokok-pokok tersebut dengan sangat sederhana dan lugas.
Cukup dengan melekatkan pemaknaan dari pokok-pokok tersebut ke figur-figur imajiner yang bisa dengan mudah dikenal dan diakrabi oleh semua kalangan masyarakat, maka pesan yang terkandung sudah bisa ditangkap oleh semua orang. Figur-figur imajiner ini tidak menuntut orang untuk berpikir keras dalam memahami teori dan praktek politik yang ingin diajarkan. Bahkan rakyat kecil yang buta huruf pun bisa membayangkan teori dan praktek politik yang mereka ajarkan, walau dalam taraf pemahaman yang lebih ringkas dan sederhana.

Uniknya lagi, konsep yang mereka ajukan itu, walau pun bisa dimengerti dengan mudah oleh semua kalangan, kedalaman pemahaman dari masing-masing orang yang mempelajarinya bisa berbeda. Konsep ini diajarkan dengan cara mengajukan sosok figur. Kemampuan yang berbeda dalam mencermati detail dari segala aspek masing-masing sosok yang diajukan akan menghasilkan penjabaran yang berbeda pula.
Pada jaman dulu, hakekat penguasa dijelaskan dengan cara mengajak masyarakat untuk membayangkan figur pandita ratu. Dan masyarakat dengan cepat bisa memahami seperti apa gambaran penguasa yang ideal itu. Lalu, konsep rakyat dijelaskan dengan mengajukan figur Semar. Dan masyarakat juga bisa segera paham tentang hakekat rakyat. Sederhana, indah, mudah dipahami dan dipraktekkan di semua tingkatan masyarakat, serta memiliki kelenturan dalam cara pemaknaannya. Adakah profesor ilmu politik jaman sekarang yang mampu menguraikan pokok tentang penguasa dan rakyat yang bisa dipahami dengan mudah bahkan oleh rakyat yang buta huruf?

Selanjutnya, saya akan ajak anda untuk ikut menelusuri hasil terawang saya tentang sosok pandita ratu dan Semar ini. Dan pembahasannya akan kita mulai dari sosok Semar.

Semar
Sekarang kita akan melihat bagaimana nenek moyang kita memberi gambaran tentang harkat, martabat dan kodrat rakyat.

Karakter Semar adalah karakter yang murni merupakan hasil ciptaan nenek moyang kita. Walaupun disangkut-pautkan dengan tokoh-tokoh pewayangan hasil impor dari India, karakter Semar ini bisa dikatakan hasil kreatifitas olah pikir nenek moyang kita.
Kedudukan dan fungsi Semar sangat unik. Sebagai manusia, dia termasuk dalam kategori rendahan di dalam struktur masyarakat. Namun, sebagai dewa, dia memiliki kedudukan yang sangat tinggi.

Gambaran Semar sebagai pribadi rangkap ini merupakan suatu peringatan kepada raja untuk selalu sadar bahwa di balik penampilannya yang lusuh dan kusut, Semar adalah sosok dewa yang harus dihadapi dengan standar moral yang tinggi.

Kalau Semar ditangani dengan standar moral yang rendah, maka marahlah dia dan akan meletuskan kentut saktinya – ilmu yang memiliki daya rusak luar biasa bagi kerajaan. Sedangkan bila ditangani dengan standar moral yang tinggi, maka dia akan berkenan dan memberkati raja serta seluruh negeri dengan segala kelimpahan dan kekuatan.
Penalarannya sederhana saja. Rakyat akan meniru perilaku raja beserta aparat pemerintahannya. Jika raja dan aparat pemerintah berperilaku dalam standar moral yang tinggi, maka rakyat akan meniru perilaku dan standar moral yang tinggi tersebut. Kebenaran, keadilan dan solidaritas akan menjadi nilai-nilai yang dipegang secara konsekuen oleh rakyat.

Perilaku yang menyimpang dari kebenaran, dengan sendirinya, akan dihindari oleh rakyat. Kehidupan masyarakat menjadi tenteram. Rakyat bersemangat untuk bekerja meningkatkan kesejahteraan mereka.

Solidaritas yang tinggi membuat jurang antara miskin dan kaya menjadi terjembatani. Yang miskin tidak menjadi iri dan yang kaya tidak menjadi sombong.

Rakyat juga akan bersemangat untuk terlibat dengan berbagai rencana dan agenda sang raja. Semar menjadi dewa yang memberkati dan melindungi kerajaan.

Sebaliknya, jika raja dan aparat pemerintah berperilaku dalam standar moral yang rendah, maka perilaku dan standar moral yang rendah itu akan ditiru oleh rakyat. Penipuan, kekerasan dan pemerasan akan merebak di tengah masyarakat.

Kesejahteraan akan merosot karena hasil-hasil usaha rakyat dirampok oleh negara dan sesama rakyat.

Hidup jadi penuh kecurigaan dan ketakutan. Semua orang sibuk saling hantam dan saling terkam. Keresahan merajalela.

Pada akhirnya, keadaan menjadi tidak tertahankan lagi dan Semar pun meletuskan kentut saktinya, yakni pemberontakan besar di kalangan rakyat. Pemberontakan itu tidak selalu berhasil meruntuhkan penguasa, akan tetapi kerusakan yang timbul selalu luar biasa bagi kerajaan.

Pemakaian fenomena kentut dalam menggambarkan pemberontakan ini juga memiliki makna tersirat akan nasib keluarga penguasa kalau pemberontakan besar itu berhasil menggusur mereka. Kehormatan mereka akan jatuh, nyawa mereka juga bisa melayang secara hina akibat amukan rakyat yang kalap.

Rakyat, dalam pandangan nenek moyang kita, memiliki dua potensi yang sama-sama luar biasa. Rakyat bisa menjadi sumber kemakmuran dan kekuatan negara. Namun rakyat juga bisa berubah menjadi monster yang melumatkan negara.

Pandita ratu
Penguasa pada jaman dulu adalah sosok yang duduk di puncak struktur masyarakat. Raja adalah pemegang kekuasaan tunggal. Dia berkuasa menetapkan dan menjalankan kebijakan kenegaraan. Dia juga memegang kekuasaan kehakiman negara.

Karena luasnya cakupan kekuasaan sang raja ini, maka para cerdik cendekia di jaman dulu berharap agar raja menjalankan kekuasaannya dengan mengutamakan kepentingan bangsa di atas kepentingan pribadi. Harapan itu lalu diwujudkan dalam bentuk sosok pandita ratu.

Seorang pandita ratu adalah seorang penguasa yang berkepentingan dengan standar moral dan kesejahteraan rakyatnya. Raja yang ideal adalah raja yang berbudi luhur serta cakap memimpin bawahan dan rakyatnya.

Kata pandita membawa bayangan kita pada seseorang yang giat menggali kebenaran ilahi. Hasil dari penggaliannya itu lalu diamalkan dalam wujud watak yang mulia.
Di samping itu, sang pandita juga berkepentingan untuk menyebarluaskan kebenaran ilahi ini ke seluruh lapisan masyarakat. Dia akan mengajarkan serta memberi teladan budi luhur ini kepada masyarakat luas.

Tanggapan dari masyarakat – baik berupa ketaatan mau pun penolakan – akan menjadi bahan renungannya untuk menggali kebenaran ilahi itu lebih jauh lagi dan melontarkan kembali ke tengah masyarakat dalam bentuk ajaran serta teladan yang telah disempurnakan.

Dari sini kita bisa melihat bahwa seorang pandita adalah orang yang bergerak membawa masyarakat untuk melangkah dalam suatu spiral standar moral yang mengarah ke atas. Pandita terus menerus melakukan kontemplasi, pengajaran serta pemberian teladan kepada masyarakat untuk membimbing masyarakat naik ke tataran moral yang lebih tinggi.

Selanjutnya, kata ratu membawa kita pada gambaran tentang seorang penguasa yang memiliki bekal keahlian untuk bisa menggali, memfasilitasi dan mengarahkan segenap potensi yang ada di negerinya menuju ke kondisi yang jauh lebih baik bagi kesejahteraan bersama.

Sang raja paham apa saja yang menjadi keunggulan wilayah dan rakyatnya. Raja mampu untuk mengolah keunggulan-keunggulan tersebut sehingga menjadi landasan bagi perkembangan negerinya.

Raja juga tahu tentang kelemahan kelemahan wilayah dan rakyatnya. Dan dia mampu mengatasi kelemahan-kelemahan negerinya dan – sekiranya mungkin – mengubah kelemahan menjadi kekuatan.

Dan raja juga harus paham bagaimana memfasilitasi serta mengarahkan semua potensi itu agar menjadi suatu kekuatan nyata, yang bisa segera dikerahkan serta difokuskan pada sasaran-sasaran perbaikan dan pembangunan yang tepat arah dan memberi hasil terbaik bagi negerinya.

Jadi, kata pandita dan kata ratu ini merumuskan sosok seorang penguasa ideal versi nenek moyang kita sebagai berikut:

a. Aktif membawa rakyat melangkah menelusuri spiral peningkatan standar moral lewat ajaran dan teladannya.

b. Memiliki bekal kecakapan untuk menggali, memfasilitasi dan mengarahkan segenap potensi yang ada di negerinya untuk mencapai tujuan gemah ripah loh jinawi bagi segenap rakyat.

Lalu dengan cara apa raja akan mempengaruhi moral rakyat yang, tentunya, tidak begitu bersinggungan dengan raja dalam kehidupan sehari-hari? Adakah penjelasan untuk hal ini?

Pihak yang terkena dampak langsung dari perlaku raja adalah para elit dan aparat birokrasi istana. Selanjutnya, para elit dan aparat birokrasi istana ini akan menularkan dampak tersebut ke jajaran yang lebih rendah. Demikian seterusnya sampai ke tingkatan aparat yang bersentuhan langsung dengan rakyat.

Raja yang berpegang pada standar moral yang rendah akan memperlakukan elit dan aparat birokrasi istana berdasarkan favoritisme. Orang yang paling dia senangi akan mendapat prioritas dalam banyak hal. Orang yang tidak dia senangi akan diabaikan, atau bahkan disingkirkan.

Para elit dan aparat birokrasi istana terpaksa berlomba-lomba untuk menyenangkan hati sang penguasa dengan segala cara. Usaha menyenangkan hati sang raja, tentu saja, memakan banyak biaya. Mereka lalu menekan bawahan untuk memberi setoran tambahan untuk menutupi biaya tersebut.

Suasana penuh tekanan agar bisa menjadi favorit sang raja, akhirnya membuat mereka jadi membutuhkan saluran untuk membuang tekanan tersebut. Mulailah mereka terjebak pada jerat hedonisme dalam rangka melepas ketegangan sesudah melewati hari-hari penuh kekuatiran akan berkurangnya prioritas sang raja pada mereka.

Setelah terjebak dalam jerat hedonisme tersebut, mereka lalu memeras lebih banyak lagi dari para bawahannya. Di samping itu, mereka sendiri juga mulai meniru perilaku raja dalam memperlakukan para bawahan mereka.

Favoritisme menyebar di semua tingkatan birokrasi. Anak buah yang bisa menyetor lebih banyak akan lebih diutamakan. Anak buah yang menyetor tidak banyak akan diabaikan, dan anak buah yang menolak untuk memberi setoran di luar setoran resmi akan disingkirkan.

Persaingan untuk menyenangkan hati sang raja mungkin diawali dalam suasana yang masih saling bersahabat. Namun, lama-lama akan berubah menjadi persaingan yang saling menjatuhkan dan penuh intrik dan – kadang kala – pembunuhan. Intrik dan pemerasan menyebar sampai ke tingkatan terbawah.

Petugas yang setiap harinya berurusan dengan rakyat akan dijejali dengan berbagai kewajiban setoran tidak resmi kepada atasannya. Mereka lalu memeras rakyat dengan berbagai macam dalih.

Tekanan favoritisme membuat aparat di berbagai tingkatan terjerat dalam rupa-rupa manifestasi hedonisme guna menyalurkan tegangan batin yang mereka hadapi setiap hari.

Akhirnya, berubahlah perilaku segenap aparat pemerintahan. Standar moral mereka merosot drastis dan perlakuan mereka terhadap rakyat menjadi sewenang-wenang.
Kesejahteraan rakyat dirampok oleh negara. Rakyat tidak leluasa untuk mengembangkan potensinya karena selalu dirampok dengan berbagai dalih.

Perilaku ini lalu menular ke kalangan rakyat. Masing-masing orang lalu mulai memandang mereka yang lebih lemah sebagai mangsanya. Sesama rakyat mulai saling menindas dengan berbagai dalih.

Akhirnya, rasa curiga dan kecemasan merajalela. Setiap orang menjalani hidupnya dalam rasa curiga dan terancam. Ancaman bisa datang dalam rupa fitnah maupun kekerasan demi keuntungan materi atau demi mengejar setoran.

Raja mungkin masih bisa mempertahankan nilai upeti, akan tetapi kemampuan dan kemauan rakyat untuk terlibat aktif dalam berbagai agenda kerajaan sudah jauh merosot.

Sedangkan raja yang berpegang standar moral yang tinggi akan memperlakukan kalangan elit dan aparat birokrasi istana dengan bersandar pada prinsip keadilan dan kebenaran. Prinsip itu sendiri juga dipegang dan dijalankan dengan konsekuen oleh sang raja dalam segala perilakunya.

Keteguhan raja dalam menjalankan prinsip keadilan dan kebenaran akan mendorong para elit dan aparat birokrasi istana untuk meniru perilaku berdasarkan prinsip sang raja. Mereka ini lalu menularkan perilaku tersebut ke jajaran yang lebih bawah sampai ke petugas yang mengurusi rakyat secara langsung.

Penyebaran perilaku yang dilandasi oleh prinsip kebenaran dan keadilan ini pada akhirnya akan menjangkau rakyat. Rakyat yang diperlakukan dengan adil dan benar akan menikmati ketertiban dan ketenteraman.

Tertib karena pembuat dan pelaksana kebijakan sama-sama menjalankan kebijakan dengan konsisten. Konsistensi pelaksanaan kebijakan akan memberi rakyat kepastian akan hasil setiap tindakan dan usaha mereka. Dengan demikian, rakyat bisa membuat rencana kehidupan yang lebih pasti dan terarah. Kehidupan rakyat yang terencana – baik rencana sendiri maupun rencana yang tertuang dalam kebijakan sang penguasa – akan membuat rakyat bisa bekerja dan berusaha dengan lebih tertata.

Tenteram karena pemerintah akan cepat dan sigap mengatasi setiap pelanggaran kebijakan tanpa pandang bulu.

Ketertiban dan ketenteraman akan memberi rakyat kesempatan untuk mengembangkan segenap potensi untuk meningkatkan kesejahteraan mereka. Hasilnya adalah rakyat menapaki standar moral yang tinggi dalam keadaan yang gemah ripah loh jinawi.

Sederhana, mudah dipahami dan bisa langsung diterapkan
Nenek moyang kita memiliki apresiasi yang lebih diarahkan pada aspek praktis dari ilmu pengetahuan. Konsep-konsep yang mereka ajarkan pasti didominasi oleh nilai praktisnya. Dengan demikian, konsep pandita ratu dan konsep Semar ini juga didominasi oleh nilai praktis yang bisa segera diterapkan dalam kehidupan politik kita.

Bila kita masukkan ke dalam kerangka persoalan umum yang sedang dihadapi oleh bangsa kita sekarang ini, maka kedua konsep yang ditawarkan oleh nenek moyang kita jelas sangat relevan dan aktual.

Mengapa kita yang tinggal di tanah subur ini sampai harus membeli berbagai bahan pangan dari negeri-negeri asing? Mengapa kita yang memiliki banyak sumber energi ternyata harus memberi energi dari bangsa lain? Mengapa negeri yang alamnya kaya ini harus mengirim banyak warganya untuk menjadi babu di negeri orang?

Permasalahan bangsa kita adalah kebangkrutan moral. Kebangkrutan moral membuat segala sesuatu dicuri dan diselewengkan baik oleh pemerintah maupun oleh rakyat. Setiap orang bersiap untuk saling terkam. Tidak ada kemajuan dan kesejahteraan yang bisa dicapai dengan kondisi moral yang bangkrut ini. Di sisi lain, titik tolak dari penjabaran konsep pandita ratu dan Semar adalah standar moral. Ibarat pucuk dicita ulam tiba, begitulah kira-kira kecocokan antara persoalan bangsa kita sekarang dengan solusi yang ditawarkan oleh nenek moyang kita.

Menyalahkan pemerintah-pemerintah pada periode sebelumnya tidak akan menyelesaikan persoalan. Pemerintah periode manapun yang membuat kesalahan, kalau pemerintah sekarang memang punya niat untuk mengatasi masalah, maka tindakan pembenahan harus segera dilakukan.

Keadilan perlu ditegakkan dan kebenaran perlu dipulihan. Komitmen dan konsistensi dalam penegakan hukum harus diutamakan.

Dan pihak yang harus mengambil inisiatif untuk memulai pembenahan adalah presiden, kepala daerah otonom, wakil rakyat, para petinggi lembaga-lembaga hukum serta para elit politik partai. Mereka inilah yang termasuk ke dalam kategori ratu (penguasa) di negeri ini.

Sekarang ini, mereka baru layak disebut ratu tanpa predikat pandita. Ini saja sudah menunjukkan bahwa merekalah sebenarnya yang menjadi biang masalah bagi negeri ini.
Seharusnya mereka malu melihat teladan yang mereka berikan kepada rakyat. Seharusnya mereka berjuang untuk layak menjadi pandita ratu.

Rakyat terbawa untuk meniru perilaku dan standar moral mereka. Mereka adalah para ‘ratu’, yakni motor, yang akan menentukan ke arah mana standar moral rakyat bergerak.

Rakyat hidup dalam suasana saling curiga dan dihantui kecemasan. Rakyat sudah sangat letih menanggung beban degradasi moral ini. Perilaku hedonis adalah upaya mereka untuk menyalurkan ketegangan akibat merebaknya prinsip favoritisme di semua tempat.
Program-program semacam PNPM dan KUR yang tidak menghasilkan kemandirian ekonomi di kalangan rakyat adalah bukti bahwa rakyat sudah tidak antusias dengan rencana dan agenda pemerintah.

Sedangkan letupan-letupan kekerasan yang merebak di kalangan rakyat menunjukkan bahwa batas toleransi Semar dalam menanggung degradasi moral ini sudah semakin mendekati limitnya.

Ingat bahwa segala tindak tanduk dan standar moral penguasa serta aparat pemerintah akan menjadi cetak biru yang akan menentukan perilaku dan standar moral rakyat.
Politik citra jelas bukan jawaban terhadap persoalan bangsa kita ini. Masyarakat gemah ripah loh jinawi tidak akan bisa dicapai dengan politik citra.

Politik citra hanya akan menyuburkan kemunafikan dan kerakusan di segala kalangan. Suasana penuh paksaan di jaman Orde Baru berganti dengan suasana penuh sogokan di masa Reformasi.

Rakyat disogok di masa pemilu dan pilkada. Ini membuat para konstestan butuh banyak uang untuk ikut bersaing di ajang pemilihan. Politik citra justru membuat ongkos demokrasi jadi luar biasa mahalnya.

Dan setelah menang, mereka akan berusaha mengejar titik impas dengan melakukan korupsi yang semakin ganas. Buntutnya adalah perilaku rakus, korup serta munafik ini ditiru terus oleh masyarakat, standar moral rakyat terperosok lebih dalam lagi.
Pembenahan moral adalah landasan untuk mencapai cita-cita masyarakat yang adil dan makmur tersebut. Dan pembenahan moral itu sudah tidak bisa ditunda-tunda lagi.
Mulailah dengan penindakan yang benar-benar nyata dan tegas terhadap segala macam korupsi. Koruptor yang masih hidup dan belum ditindak harus segera ditindak. Dari masa pemerintahan manapun asalnya, pelaku korupsi tetap harus dihukum seberat-beratnya,

Perut Semar sudah semakin kembung. Jangan sampai dia kentut sembarangan, dan membuat kita hanya bisa tertegun.