Tuesday, June 1, 2010

PERIHAL KEMANDIRIAN PANGAN

Kekayaan bangsa kita dalam wujud kesuburan alamnya adalah anugerah yang sangat besar. Kita punya banyak variasi flora dan fauna yang hanya ada di wilayah kita. Variasi jenis lahan kita juga beragam. Mulai dari lahan berpasir sampai lahan gambut. Ada lahan tepian pantai dan ada juga lahan dataran tinggi. Kita juga punya lahan yang menganggur. Di samping itu, iklim tropis yang tidak mengenal perbedaan temperatur ekstrim yang dikombinasi dengan rangkaian pegunungan berapi aktif melengkapi kekayaan tanah air kita dalam hal kesuburannya.

Nenek moyang kita menyikapi limpahan anugerah alam ini dengan kreatif. Berbagai suku bangsa di Indonesia sejak jaman dulu telah mengembangkan berbagai macam tanaman sebagai makanan pokok mereka. Ada beras, jagung, singkong dan sagu. Dipadu dengan aneka sayur, buah, ternak dan ikan dari laut, hasilnya adalah keanekaragaman makanan sehari-hari.

Sayangnya, di jaman sekarang ini, variasi menu makanan pokok kita semakin mengerucut ke jenis-jenis bahan pangan tertentu saja. Pola konsumsi yang merdeka menjadi semakin langka. Harus ada beras. Harus ada terigu. Harus ada daging sapi. Harus ada ini dan itu. Akibatnya sangat jelas, bangsa kita menjadi terpaku pada produksi beberapa gelintir bahan pangan, dan jika tidak bisa dicukupi maka harus dilakukan impor dalam jumlah yang tidak sedikit.

Berbagai analisis sudah diajukan oleh para pakar yang berkepentingan dengan keruwetan masalah bahan pangan ini. Pada umumnya, kesimpulan yang mereka sajikan adalah kesimpulan yang menyalahkan pemerintah. Mulai dari ketidakberesan tata ruang, ketidakjelasan sikap pemerintah terhadap nasib para petani, kelemahan pemerintah dalam menolak barang jualan bangsa lain, sampai dengan kecurigaan pada agenda pengerukan anggaran demi pembiayaan aktifitas politik. Banyak sumber masalah yang ditelisik oleh para pakar itu, dan semuanya dirangkai dengan satu bumbu penyedap: “Timpakan segala kesalahan ke pundak pemerintah, tidak peduli pemerintah yang sekarang atau pun pemerintah yang dulu.”

Baiklah, bisa jadi para pakar itu memang punya landasan yang memadai untuk menyalahkan pemerintah. Mungkin kita memang layak untuk menyalahkan pemerintah tanpa harus peduli dari periode manapun mereka. Mungkin semua masalah ini memang timbul karena pemerintah. Pemerintah yang dulu membuat kesalahan, dan pemerintah yang sekarang melanjutkannya. 

Namun tindakan serba menuding mencari terdakwa ini juga tidak akan menyelesaikan urusan. Baguslah kalau pemerintah mau disalahkan. Bagaimana kalau tidak mau? Bukankah kita akan masuk ke dalam drama saling tuding ala Susno Duadji dan Mabes Polri? Mana yang cicak? Mana yang buaya? Mana yang kerbau? Atau mungkin drama saling tuding ala kasus Century di gedung DPR yang sekarang menghasilkan mahluk aneh: Setgab Koalisi yang punya kubangan khusus di kawasan lumpur Lapindo.

Kita memang harus tetap hidup. Dan untuk itu, makanan harus selalu tersedia. Bukan hanya selalu tersedia saja, kita juga harus berpikir bagaimana menyediakannya tanpa harus bergantung pada barang jualan bangsa lain. Menggadaikan perut bangsa ini ke tangan bangsa lain adalah kebodohan yang akan berujung pada cengkeraman kepentingan mereka pada negeri kita.

Nalar yang tertidur

Tingkat pendidikan rata-rata warga negeri kita semakin hari semakin tinggi. Mestinya hal ini bisa menjadi modal bagi bangsa kita untuk membangun suatu pola konsumsi yang rasional. Pola konsumsi yang bisa dilandasi oleh nalar tentang nilai gizi, produktifitas dan ongkos produksinya. Terlepas dari apakah pemerintah kita pintar atau pun bodoh dalam mengelola kebutuhan pangan rakyat, seharusnya kita bisa menjalankan pola konsumsi kita dengan rasional.

Namun apa yang dilakukan oleh bangsa kita? Bekal pendidikan itu seperti tidak ada jejaknya. Segala macam pengetahuan debet-kredit, untung-rugi, ilmu gizi dan statistik itu tidak menghasilkan pola konsumsi masyarakat yang rasional.

Perilaku bangsa kita memang cenderung aneh. Di kantor dan di pabrik, efisiensi adalah salah satu kata kunci yang bisa menentukan promosi ataupun pemecatan terhadap diri seseorang. Bahkan di sawah pun, efisiensi tetap merupakan variabel yang sangat diperhitungkan. Lalu, di mana jejak efisiensi itu dalam hal berkonsumsi? Dalam urusan konsumsi, efisiensi dipuji dalam ucapan tetapi diharamkan dalam tindakan.

Rasa superior harus ditegakkan. Makanan murah, walaupun bergizi tinggi, adalah simbol kemiskinan yang harus dihindari. Perilaku semacam ini jelas butuh biaya besar. Namun efisiensi menjadi tidak penting dalam urusan simbol-simbol ini. Alhasil, rakyat ngotot mengkonsumsi bahan-bahan pangan yang dianggap ‘bersih lingkungan’ – yang tidak berafiliasi dengan tema kemiskinan.

Gandum menjajah wilayah kuliner kita sampai jauh ke dalam kehidupan rakyat. Gandum yang bukan tanaman asli negeri kita diimpor dalam jumlah besar-besaran. Gandum menguasai begitu banyak resep masakan. Kita punya banyak sumber pangan yang bisa diolah menjadi tepung. Walaupun rasa yang akan dihasilkan mungkin tidak bisa persis sama, tetapi banyak produk olahan tepung singkong yang sudah bisa menyaingi rasa tepung terigu yang berasal dari gandum ini. Nah, bangsa kita tidak peduli. Harus gandum. 

Gandum bukan tanaman yang cocok dikembangkan di negeri kita. Kita tidak bisa memproduksi gandum secara produktif dan efisien. Tidak masalah, harus gandum. Mulai dari roti ala Eropa sampai dengan jajan pasar, bahkan tempe goreng harus berselimut gandum untuk bisa laku dijual.

Bangsa ini bergenit-genit dengan konsumsi daging sapi. Tidak peduli apakah pasokannya mencukupi atau tidak, daging sapi harus tersedia. Kita memiliki wilayah negeri yang dua per tiganya adalah lautan. Dan itu berarti kita punya potensi pemenuhan daging dari ikan laut. Pemenuhan kebutuhan daging kita, yang tidak terpenuhi oleh hewan ternak darat, semestinya bisa dicukupkan dengan variasi konsumsi ikan laut. Ternyata ikan laut yang tersedia melimpah itu kita abaikan. Kekayaan laut kita dicuri habis-habisan oleh para nelayan asing. Dan kita tenang-tenang saja. Biarlah makanan untuk orang miskin itu dicuri oleh nelayan asing. Daging sapi harus tersedia. Dan pemerintah mengimpor ratusan ribu ekor sapi per tahun.

Makan serasa belum makan kalau yang tidak makan nasi. Beras harus tersedia. Bangsa kita memang sudah sejak lama menghasilkan beras. Tetapi beras bukanlah bahan pangan yang bisa dihasilkan dalam tingkat produktifitas yang mampu memenuhi kebutuhan makanan pokok seluruh awak negeri. Beberapa jenis jagung bisa diolah untuk dikonsumsi seperti beras. Kita mengenal nasi jagung, dan nasi jagung memiliki rasa gurih khas yang seharusnya bisa menjadi variasi konsumsi makanan pokok kita. Kita juga punya jenis-jenis singkong yang belakangan ini produktifitas per hektarnya sudah semakin melesat. Prestasi tertinggi yang sanggup dicapai oleh singkong sudah mencapai lebih dari seratus ton per hektar. Jauh di atas padi yang hanya bertengger di angka enam sampai delapan ton per hektarnya. Singkong juga bisa diolah menjadi gula yang cocok untuk kepentingan industri makanan-minuman. Dan kita juga punya sagu, yang walaupun perlu menunggu cukup lama untuk bisa dipanen, tetap bisa dijadikan variasi konsumsi yang memadai untuk kebutuhan karbohidrat kita. Padi boros air, padahal sekarang ini saja kita sudah harus membeli air untuk keperluan sehari-hari. Masyarakat tidak peduli, makan tetap serasa belum makan kalau tidak makan nasi dari beras.

Nah, apa pun itu, yang penting beras. Beras tidak tersangkut kemiskinan. Jagung dan singkong terlalu lekat dengan aroma kemiskinan. Apa pun analisis gizi dan produktifitas jagung serta singkong, rakyat menuntut beras. Bahkan raskin (beras miskin) tetap lebih diminati daripada jagung dan singkong. Jagung dan singkong dijadikan bahan bakar saja. 

Penduduk semakin banyak dan produktifitas padi kita hanya segitu-segitu saja. Tidak masalah, tetap beras. Kita bikin food estate. Food estate akan mengakumulasi dan mengkonsentrasikan pemakaian pupuk serta pestisida kimia secara masif di satu lokasi. Kita tidak bisa menghayal tentang pupuk organik di lahan yang luasnya mencapai 1,5 juta hektar. Peluang untuk lolos dari bencana lingkungan sangat tipis. Tidak masalah, tidak usah dipikirkan, cetak saja.

Itu baru urusan karbohidrat dan protein. Bagaimana dengan serat dan vitamin? Dalam kedua urusan ini, anda bisa buktikan sendiri. Di tengah fenomena pembagian raskin yang ditingkahi oleh berbagai macam korupsi, kita bisa melihat aneka macam buah-buahan dari luar negeri dipajang di pinggir-pinggir jalan. Dan itu semua masih ditambah dengan serat serta vitamin yang berasal dari pohon jenis baru: pabrik.

Bangunlah dari tidur!

Gemah ripah loh jinawi bukanlah kondisi yang utopis. Kita bisa mencapai kondisi tersebut cukup dengan meletakkan nalar sesuai pada tempatnya. Kita sudah bisa memakai nalar dalam berbisnis dan bekerja. Kita tinggal memakai nalar yang sama dalam berkonsumsi. Itu saja sudah akan menjadi suatu langkah besar yang membawa kita pada kondisi berkecukupan mengingat kesuburan alam kita. Merdekakan pola konsumsi, lahirkan kembali keanekaragaman makanan pokok, dan kita sudah mendapat energy-boost (maaf, memakai bahasa para gamer) untuk kemandirian pangan serta siap menuju cita-cita masyarakat sejahtera yang berkelimpahan.

Kalau kita tetap berpegang pada pola konsumsi yang sekarang, maka tak lama lagi kita akan berebut air dengan padi. Lalu siapa yang akan dimenangkan? Ikan-ikan di laut kita akan habis dicuri nelayan asing disaat kita getol membeli sapi dengan harga mahal dari Australia. Perut kita jadi tidak mau lepas dari terigu yang berasal dari gandum. Bangsa-bangsa produsen gandum memperoleh senjata penekan yang kuat dalam berdiplomasi dengan kita. Buah-buahan kita juga akan tergusur oleh buah-buahan impor berbungkus lilin, yang dijual sampai ke pinggir jalan. 

Kita bisa mengambil tindakan segera dengan dampak yang akan langsung terasa, yakni kemandirian pangan. Perubahan pola konsumsi adalah tindakan yang mengandalkan inisiatif rakyat. Dan itu bisa dicapai cukup dengan mengaktifkan nalar dalam berkonsumsi. Kecukupan gizi sangat bisa dipenuhi secara mandiri dan murah. Aktifkan nalar dan kita akan bisa melihat bahwa masalah pangan bangsa ini sebenarnya tidak segawat yang digembar-gemborkan oleh banyak kalangan. Tidak perlu kita berteriak-teriak menuntut pemerintah untuk bisa memahami ini dan itu dalam urusan pangan. Kalau rakyat mau mengaktifkan nalar dalam berkonsumsi, maka tingkat kecerdasan pemerintah akan menjadi variabel yang bisa kita singkirkan dari urusan ketahanan pangan.

Tuesday, May 18, 2010

RAKYAT DAN PENGUASA

Gemah ripah loh jinawi adalah ungkapan kuno yang ingin menggambarkan betapa kayanya negeri kita. Kekayaan bahan tambang, kesuburan tanah, iklim yang hangat dan basah serta posisi di salah satu perlintasan maritim tersibuk di dunia. Semua itu adalah kombinasi yang akan membuat iri bangsa-bangsa lain. Dan kombinasi ini tentunya akan membuat anak negeri selalu menikmati keadaan yang gemah ripah loh jinawi tersebut.

Sayangnya, kalau sekarang ini kita disuruh untuk mengajukan contoh negeri yang gemah ripah loh jinawi itu, besar kemungkinan kita terpaksa mengajukan negeri lain sebagai contohnya, bukan negeri kita sendiri. Kalau kita disuruh untuk menggambarkan keadaan negeri sendiri, maka gambaran yang akan kita ajukan itu akan terlihat aneh: “Sangat subur, tetapi harus membeli berbagai bahan pangan dari negeri-negeri lain; punya banyak sumber energi tetapi harus membeli energi dari negara lain; sangat kaya, tetapi harus mengirim banyak warganya untuk menjadi babu di negeri orang.”

Gambaran semacam ini tentulah ada penyebabnya. Mengapa gambaran tentang negeri kita bisa sedemikian anehnya? Kerbau yang diajak berdemonstrasi oleh para mahasiswa pada bulan Januari yang lalu mungkin punya sedikit jawaban. Namun, kita tentunya tidak bisa mengandalkan jawaban dari sang kerbau.

Kalau kita ajukan pertanyaan seperti ini: “Mengapa Iran bisa berkembang sangat pesat di tengah tekanan hebat negara-negara Barat selama puluhan tahun? Mengapa industri perminyakan Iran sekarang mampu bersaing ketat di kancah perebutan proyek pengeboran dan pengilangan minyak global? Mengapa Iran bisa sampai pada teknologi pengayaan uranium yang membuat negara-negara Barat kalang kabut? Mengapa Iran bisa memproduksi rudak balistik yang sanggup menjangkau sebagian wilayah Eropa Timur? Bagaimana kalau kita bandingkan dengan negeri kita yang tidak mengalami tekanan sedahsyat yang dialami oleh Iran?”

Jawaban apa yang bisa diajukan oleh sang kerbau? Dari sini kita bisa melihat bahwa kita tidak bisa mengandalkan sang kerbau untuk menjawab dan memberi solusi atas karut-marut gambaran negeri kita. Apa boleh buat, keadaan memang memaksa kita untuk mencari pencerahan dari sumber lain.

Dan pencerahan terbaik tentunya adalah pencerahan yang bersumber dari lingkungan sendiri. Dengan demikian, maka kita boleh berharap bahwa pencerahan yang akan kita gali nanti bisa cepat kita akrabi dan kita jalankan.

Kalau dilihat dari ukuran waktu, maka pencerahan itu bisa bersumber dari masa kini dan masa lalu. Untuk sumber dari masa kini, kita bisa menyimak beragam pendapat yang dilontarkan oleh para pakar dan komentator yang banyak kita miliki. Dan kita tidak perlu repot-repot untuk bertanya kepada para pakar tersebut. Mereka sudah sangat aktif melontarkan pendapat dan analisa mereka lewat berbagai saluran komunikasi yang ada. Untuk jawaban dari masa lalu, maka kita bisa menelusuri warisan pemahaman nenek moyang kita tentang kehidupan berbangsa dan bernegara. Warisan-warisan tersebut bisa tersaji dalam bentuk tertulis maupun lisan. Kita tidak mungkin mencari jawaban dari masa depan, generasi masa depan belum lahir.

Esai ini dimaksudkan untuk menggali jawaban dari masa lalu. Bersiaplah untuk menikmati aroma kemenyan dan rangkaian jampi-jampi dari masa lalu.

Warisan yang cerdas
Nenek moyang kita tergolong rajin dalam menyiapkan warisan pengetahuan bagi anak-cucu mereka. Kitab-kitab kuno, gulungan-gulungan daun lontar dan batu-batu prasasti yang berlimpah adalah buktinya.

Bidang kajian yang mereka jelajahi juga sangat banyak. Mulai dari urusan sehari-hari sampai dengan urusan menghitung hari; mulai dari urusan tolak angin sampai dengan urusan tolak bala; mulai dari urusan rumah tangga sampai dengan urusan negara. Hampir semua bidang kehidupan masuk dalam daftar kurikulum mereka.

Dalam bidang eksakta murni, nenek moyang kita memang tidak menunjukkan minatnya. Laboratorium mereka lebih banyak menghasilkan ramuan dan jampi-jampi ketimbang teori fisika, biologi dan kimia.

Hal ini dipengaruhi oleh apresiasi mereka yang lebih mengarah ke aspek praktis dari suatu pengetahuan. Pengetahuan yang diarahkan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan itu sendiri, cenderung akan diabaikan oleh nenek moyang kita. Menara gading adalah tempat yang mereka hindari. Mungkin karena mereka takut berdiam dalam menara yang retak. Bukankah tak ada gading yang tak retak?

Namun, untuk bidang kajian yang bersifat praktis, prestasi dan kualitas warisan nenek moyang kita tidak kalah daripada hasil olah pikir para cendekiawan modern. Ilmu pengobatan, pertanian, pelayaran, perdagangan, politik dan etika mereka wariskan dengan sangat berlimpah dan cukup layak untuk terus dipakai di jaman sekarang.

Begitu banyaknya warisan tertulis di berbagai bidang terapan tersebut, sampai-sampai kita terpaksa harus menyimpan dan memeliharanya bersama-sama dengan bangsa lain. Ada banyak warisan tertulis dari nenek moyang kita yang mendekam di negeri Belanda dan negeri-negeri yang lain. Sebab musabab dari perpindahan kitab-kitab dan gulungan-gulungan lontar tersebut memang tidak jelas. Dibeli, dirampas, dicuri atau dipinjam? Satu hal yang jelas adalah bahwa warisan tertulis nenek moyang kita memang sangat berlimpah.

Politik adalah salah satu bidang kajian yang paling banyak dibahas oleh nenek moyang kita. Pola pembahasan yang mereka pakai cenderung sederhana dan memakai bahasa gambar.

Pokok-pokok yang mereka bahas adalah pokok-pokok yang rumit dan memiliki banyak aspek yang bisa melahirkan banyak PhD bidang ilmu politik untuk ukuran jaman sekarang. Akan tetapi mereka mampu menguraikan pokok-pokok tersebut dengan sangat sederhana dan lugas.
Cukup dengan melekatkan pemaknaan dari pokok-pokok tersebut ke figur-figur imajiner yang bisa dengan mudah dikenal dan diakrabi oleh semua kalangan masyarakat, maka pesan yang terkandung sudah bisa ditangkap oleh semua orang. Figur-figur imajiner ini tidak menuntut orang untuk berpikir keras dalam memahami teori dan praktek politik yang ingin diajarkan. Bahkan rakyat kecil yang buta huruf pun bisa membayangkan teori dan praktek politik yang mereka ajarkan, walau dalam taraf pemahaman yang lebih ringkas dan sederhana.

Uniknya lagi, konsep yang mereka ajukan itu, walau pun bisa dimengerti dengan mudah oleh semua kalangan, kedalaman pemahaman dari masing-masing orang yang mempelajarinya bisa berbeda. Konsep ini diajarkan dengan cara mengajukan sosok figur. Kemampuan yang berbeda dalam mencermati detail dari segala aspek masing-masing sosok yang diajukan akan menghasilkan penjabaran yang berbeda pula.
Pada jaman dulu, hakekat penguasa dijelaskan dengan cara mengajak masyarakat untuk membayangkan figur pandita ratu. Dan masyarakat dengan cepat bisa memahami seperti apa gambaran penguasa yang ideal itu. Lalu, konsep rakyat dijelaskan dengan mengajukan figur Semar. Dan masyarakat juga bisa segera paham tentang hakekat rakyat. Sederhana, indah, mudah dipahami dan dipraktekkan di semua tingkatan masyarakat, serta memiliki kelenturan dalam cara pemaknaannya. Adakah profesor ilmu politik jaman sekarang yang mampu menguraikan pokok tentang penguasa dan rakyat yang bisa dipahami dengan mudah bahkan oleh rakyat yang buta huruf?

Selanjutnya, saya akan ajak anda untuk ikut menelusuri hasil terawang saya tentang sosok pandita ratu dan Semar ini. Dan pembahasannya akan kita mulai dari sosok Semar.

Semar
Sekarang kita akan melihat bagaimana nenek moyang kita memberi gambaran tentang harkat, martabat dan kodrat rakyat.

Karakter Semar adalah karakter yang murni merupakan hasil ciptaan nenek moyang kita. Walaupun disangkut-pautkan dengan tokoh-tokoh pewayangan hasil impor dari India, karakter Semar ini bisa dikatakan hasil kreatifitas olah pikir nenek moyang kita.
Kedudukan dan fungsi Semar sangat unik. Sebagai manusia, dia termasuk dalam kategori rendahan di dalam struktur masyarakat. Namun, sebagai dewa, dia memiliki kedudukan yang sangat tinggi.

Gambaran Semar sebagai pribadi rangkap ini merupakan suatu peringatan kepada raja untuk selalu sadar bahwa di balik penampilannya yang lusuh dan kusut, Semar adalah sosok dewa yang harus dihadapi dengan standar moral yang tinggi.

Kalau Semar ditangani dengan standar moral yang rendah, maka marahlah dia dan akan meletuskan kentut saktinya – ilmu yang memiliki daya rusak luar biasa bagi kerajaan. Sedangkan bila ditangani dengan standar moral yang tinggi, maka dia akan berkenan dan memberkati raja serta seluruh negeri dengan segala kelimpahan dan kekuatan.
Penalarannya sederhana saja. Rakyat akan meniru perilaku raja beserta aparat pemerintahannya. Jika raja dan aparat pemerintah berperilaku dalam standar moral yang tinggi, maka rakyat akan meniru perilaku dan standar moral yang tinggi tersebut. Kebenaran, keadilan dan solidaritas akan menjadi nilai-nilai yang dipegang secara konsekuen oleh rakyat.

Perilaku yang menyimpang dari kebenaran, dengan sendirinya, akan dihindari oleh rakyat. Kehidupan masyarakat menjadi tenteram. Rakyat bersemangat untuk bekerja meningkatkan kesejahteraan mereka.

Solidaritas yang tinggi membuat jurang antara miskin dan kaya menjadi terjembatani. Yang miskin tidak menjadi iri dan yang kaya tidak menjadi sombong.

Rakyat juga akan bersemangat untuk terlibat dengan berbagai rencana dan agenda sang raja. Semar menjadi dewa yang memberkati dan melindungi kerajaan.

Sebaliknya, jika raja dan aparat pemerintah berperilaku dalam standar moral yang rendah, maka perilaku dan standar moral yang rendah itu akan ditiru oleh rakyat. Penipuan, kekerasan dan pemerasan akan merebak di tengah masyarakat.

Kesejahteraan akan merosot karena hasil-hasil usaha rakyat dirampok oleh negara dan sesama rakyat.

Hidup jadi penuh kecurigaan dan ketakutan. Semua orang sibuk saling hantam dan saling terkam. Keresahan merajalela.

Pada akhirnya, keadaan menjadi tidak tertahankan lagi dan Semar pun meletuskan kentut saktinya, yakni pemberontakan besar di kalangan rakyat. Pemberontakan itu tidak selalu berhasil meruntuhkan penguasa, akan tetapi kerusakan yang timbul selalu luar biasa bagi kerajaan.

Pemakaian fenomena kentut dalam menggambarkan pemberontakan ini juga memiliki makna tersirat akan nasib keluarga penguasa kalau pemberontakan besar itu berhasil menggusur mereka. Kehormatan mereka akan jatuh, nyawa mereka juga bisa melayang secara hina akibat amukan rakyat yang kalap.

Rakyat, dalam pandangan nenek moyang kita, memiliki dua potensi yang sama-sama luar biasa. Rakyat bisa menjadi sumber kemakmuran dan kekuatan negara. Namun rakyat juga bisa berubah menjadi monster yang melumatkan negara.

Pandita ratu
Penguasa pada jaman dulu adalah sosok yang duduk di puncak struktur masyarakat. Raja adalah pemegang kekuasaan tunggal. Dia berkuasa menetapkan dan menjalankan kebijakan kenegaraan. Dia juga memegang kekuasaan kehakiman negara.

Karena luasnya cakupan kekuasaan sang raja ini, maka para cerdik cendekia di jaman dulu berharap agar raja menjalankan kekuasaannya dengan mengutamakan kepentingan bangsa di atas kepentingan pribadi. Harapan itu lalu diwujudkan dalam bentuk sosok pandita ratu.

Seorang pandita ratu adalah seorang penguasa yang berkepentingan dengan standar moral dan kesejahteraan rakyatnya. Raja yang ideal adalah raja yang berbudi luhur serta cakap memimpin bawahan dan rakyatnya.

Kata pandita membawa bayangan kita pada seseorang yang giat menggali kebenaran ilahi. Hasil dari penggaliannya itu lalu diamalkan dalam wujud watak yang mulia.
Di samping itu, sang pandita juga berkepentingan untuk menyebarluaskan kebenaran ilahi ini ke seluruh lapisan masyarakat. Dia akan mengajarkan serta memberi teladan budi luhur ini kepada masyarakat luas.

Tanggapan dari masyarakat – baik berupa ketaatan mau pun penolakan – akan menjadi bahan renungannya untuk menggali kebenaran ilahi itu lebih jauh lagi dan melontarkan kembali ke tengah masyarakat dalam bentuk ajaran serta teladan yang telah disempurnakan.

Dari sini kita bisa melihat bahwa seorang pandita adalah orang yang bergerak membawa masyarakat untuk melangkah dalam suatu spiral standar moral yang mengarah ke atas. Pandita terus menerus melakukan kontemplasi, pengajaran serta pemberian teladan kepada masyarakat untuk membimbing masyarakat naik ke tataran moral yang lebih tinggi.

Selanjutnya, kata ratu membawa kita pada gambaran tentang seorang penguasa yang memiliki bekal keahlian untuk bisa menggali, memfasilitasi dan mengarahkan segenap potensi yang ada di negerinya menuju ke kondisi yang jauh lebih baik bagi kesejahteraan bersama.

Sang raja paham apa saja yang menjadi keunggulan wilayah dan rakyatnya. Raja mampu untuk mengolah keunggulan-keunggulan tersebut sehingga menjadi landasan bagi perkembangan negerinya.

Raja juga tahu tentang kelemahan kelemahan wilayah dan rakyatnya. Dan dia mampu mengatasi kelemahan-kelemahan negerinya dan – sekiranya mungkin – mengubah kelemahan menjadi kekuatan.

Dan raja juga harus paham bagaimana memfasilitasi serta mengarahkan semua potensi itu agar menjadi suatu kekuatan nyata, yang bisa segera dikerahkan serta difokuskan pada sasaran-sasaran perbaikan dan pembangunan yang tepat arah dan memberi hasil terbaik bagi negerinya.

Jadi, kata pandita dan kata ratu ini merumuskan sosok seorang penguasa ideal versi nenek moyang kita sebagai berikut:

a. Aktif membawa rakyat melangkah menelusuri spiral peningkatan standar moral lewat ajaran dan teladannya.

b. Memiliki bekal kecakapan untuk menggali, memfasilitasi dan mengarahkan segenap potensi yang ada di negerinya untuk mencapai tujuan gemah ripah loh jinawi bagi segenap rakyat.

Lalu dengan cara apa raja akan mempengaruhi moral rakyat yang, tentunya, tidak begitu bersinggungan dengan raja dalam kehidupan sehari-hari? Adakah penjelasan untuk hal ini?

Pihak yang terkena dampak langsung dari perlaku raja adalah para elit dan aparat birokrasi istana. Selanjutnya, para elit dan aparat birokrasi istana ini akan menularkan dampak tersebut ke jajaran yang lebih rendah. Demikian seterusnya sampai ke tingkatan aparat yang bersentuhan langsung dengan rakyat.

Raja yang berpegang pada standar moral yang rendah akan memperlakukan elit dan aparat birokrasi istana berdasarkan favoritisme. Orang yang paling dia senangi akan mendapat prioritas dalam banyak hal. Orang yang tidak dia senangi akan diabaikan, atau bahkan disingkirkan.

Para elit dan aparat birokrasi istana terpaksa berlomba-lomba untuk menyenangkan hati sang penguasa dengan segala cara. Usaha menyenangkan hati sang raja, tentu saja, memakan banyak biaya. Mereka lalu menekan bawahan untuk memberi setoran tambahan untuk menutupi biaya tersebut.

Suasana penuh tekanan agar bisa menjadi favorit sang raja, akhirnya membuat mereka jadi membutuhkan saluran untuk membuang tekanan tersebut. Mulailah mereka terjebak pada jerat hedonisme dalam rangka melepas ketegangan sesudah melewati hari-hari penuh kekuatiran akan berkurangnya prioritas sang raja pada mereka.

Setelah terjebak dalam jerat hedonisme tersebut, mereka lalu memeras lebih banyak lagi dari para bawahannya. Di samping itu, mereka sendiri juga mulai meniru perilaku raja dalam memperlakukan para bawahan mereka.

Favoritisme menyebar di semua tingkatan birokrasi. Anak buah yang bisa menyetor lebih banyak akan lebih diutamakan. Anak buah yang menyetor tidak banyak akan diabaikan, dan anak buah yang menolak untuk memberi setoran di luar setoran resmi akan disingkirkan.

Persaingan untuk menyenangkan hati sang raja mungkin diawali dalam suasana yang masih saling bersahabat. Namun, lama-lama akan berubah menjadi persaingan yang saling menjatuhkan dan penuh intrik dan – kadang kala – pembunuhan. Intrik dan pemerasan menyebar sampai ke tingkatan terbawah.

Petugas yang setiap harinya berurusan dengan rakyat akan dijejali dengan berbagai kewajiban setoran tidak resmi kepada atasannya. Mereka lalu memeras rakyat dengan berbagai macam dalih.

Tekanan favoritisme membuat aparat di berbagai tingkatan terjerat dalam rupa-rupa manifestasi hedonisme guna menyalurkan tegangan batin yang mereka hadapi setiap hari.

Akhirnya, berubahlah perilaku segenap aparat pemerintahan. Standar moral mereka merosot drastis dan perlakuan mereka terhadap rakyat menjadi sewenang-wenang.
Kesejahteraan rakyat dirampok oleh negara. Rakyat tidak leluasa untuk mengembangkan potensinya karena selalu dirampok dengan berbagai dalih.

Perilaku ini lalu menular ke kalangan rakyat. Masing-masing orang lalu mulai memandang mereka yang lebih lemah sebagai mangsanya. Sesama rakyat mulai saling menindas dengan berbagai dalih.

Akhirnya, rasa curiga dan kecemasan merajalela. Setiap orang menjalani hidupnya dalam rasa curiga dan terancam. Ancaman bisa datang dalam rupa fitnah maupun kekerasan demi keuntungan materi atau demi mengejar setoran.

Raja mungkin masih bisa mempertahankan nilai upeti, akan tetapi kemampuan dan kemauan rakyat untuk terlibat aktif dalam berbagai agenda kerajaan sudah jauh merosot.

Sedangkan raja yang berpegang standar moral yang tinggi akan memperlakukan kalangan elit dan aparat birokrasi istana dengan bersandar pada prinsip keadilan dan kebenaran. Prinsip itu sendiri juga dipegang dan dijalankan dengan konsekuen oleh sang raja dalam segala perilakunya.

Keteguhan raja dalam menjalankan prinsip keadilan dan kebenaran akan mendorong para elit dan aparat birokrasi istana untuk meniru perilaku berdasarkan prinsip sang raja. Mereka ini lalu menularkan perilaku tersebut ke jajaran yang lebih bawah sampai ke petugas yang mengurusi rakyat secara langsung.

Penyebaran perilaku yang dilandasi oleh prinsip kebenaran dan keadilan ini pada akhirnya akan menjangkau rakyat. Rakyat yang diperlakukan dengan adil dan benar akan menikmati ketertiban dan ketenteraman.

Tertib karena pembuat dan pelaksana kebijakan sama-sama menjalankan kebijakan dengan konsisten. Konsistensi pelaksanaan kebijakan akan memberi rakyat kepastian akan hasil setiap tindakan dan usaha mereka. Dengan demikian, rakyat bisa membuat rencana kehidupan yang lebih pasti dan terarah. Kehidupan rakyat yang terencana – baik rencana sendiri maupun rencana yang tertuang dalam kebijakan sang penguasa – akan membuat rakyat bisa bekerja dan berusaha dengan lebih tertata.

Tenteram karena pemerintah akan cepat dan sigap mengatasi setiap pelanggaran kebijakan tanpa pandang bulu.

Ketertiban dan ketenteraman akan memberi rakyat kesempatan untuk mengembangkan segenap potensi untuk meningkatkan kesejahteraan mereka. Hasilnya adalah rakyat menapaki standar moral yang tinggi dalam keadaan yang gemah ripah loh jinawi.

Sederhana, mudah dipahami dan bisa langsung diterapkan
Nenek moyang kita memiliki apresiasi yang lebih diarahkan pada aspek praktis dari ilmu pengetahuan. Konsep-konsep yang mereka ajarkan pasti didominasi oleh nilai praktisnya. Dengan demikian, konsep pandita ratu dan konsep Semar ini juga didominasi oleh nilai praktis yang bisa segera diterapkan dalam kehidupan politik kita.

Bila kita masukkan ke dalam kerangka persoalan umum yang sedang dihadapi oleh bangsa kita sekarang ini, maka kedua konsep yang ditawarkan oleh nenek moyang kita jelas sangat relevan dan aktual.

Mengapa kita yang tinggal di tanah subur ini sampai harus membeli berbagai bahan pangan dari negeri-negeri asing? Mengapa kita yang memiliki banyak sumber energi ternyata harus memberi energi dari bangsa lain? Mengapa negeri yang alamnya kaya ini harus mengirim banyak warganya untuk menjadi babu di negeri orang?

Permasalahan bangsa kita adalah kebangkrutan moral. Kebangkrutan moral membuat segala sesuatu dicuri dan diselewengkan baik oleh pemerintah maupun oleh rakyat. Setiap orang bersiap untuk saling terkam. Tidak ada kemajuan dan kesejahteraan yang bisa dicapai dengan kondisi moral yang bangkrut ini. Di sisi lain, titik tolak dari penjabaran konsep pandita ratu dan Semar adalah standar moral. Ibarat pucuk dicita ulam tiba, begitulah kira-kira kecocokan antara persoalan bangsa kita sekarang dengan solusi yang ditawarkan oleh nenek moyang kita.

Menyalahkan pemerintah-pemerintah pada periode sebelumnya tidak akan menyelesaikan persoalan. Pemerintah periode manapun yang membuat kesalahan, kalau pemerintah sekarang memang punya niat untuk mengatasi masalah, maka tindakan pembenahan harus segera dilakukan.

Keadilan perlu ditegakkan dan kebenaran perlu dipulihan. Komitmen dan konsistensi dalam penegakan hukum harus diutamakan.

Dan pihak yang harus mengambil inisiatif untuk memulai pembenahan adalah presiden, kepala daerah otonom, wakil rakyat, para petinggi lembaga-lembaga hukum serta para elit politik partai. Mereka inilah yang termasuk ke dalam kategori ratu (penguasa) di negeri ini.

Sekarang ini, mereka baru layak disebut ratu tanpa predikat pandita. Ini saja sudah menunjukkan bahwa merekalah sebenarnya yang menjadi biang masalah bagi negeri ini.
Seharusnya mereka malu melihat teladan yang mereka berikan kepada rakyat. Seharusnya mereka berjuang untuk layak menjadi pandita ratu.

Rakyat terbawa untuk meniru perilaku dan standar moral mereka. Mereka adalah para ‘ratu’, yakni motor, yang akan menentukan ke arah mana standar moral rakyat bergerak.

Rakyat hidup dalam suasana saling curiga dan dihantui kecemasan. Rakyat sudah sangat letih menanggung beban degradasi moral ini. Perilaku hedonis adalah upaya mereka untuk menyalurkan ketegangan akibat merebaknya prinsip favoritisme di semua tempat.
Program-program semacam PNPM dan KUR yang tidak menghasilkan kemandirian ekonomi di kalangan rakyat adalah bukti bahwa rakyat sudah tidak antusias dengan rencana dan agenda pemerintah.

Sedangkan letupan-letupan kekerasan yang merebak di kalangan rakyat menunjukkan bahwa batas toleransi Semar dalam menanggung degradasi moral ini sudah semakin mendekati limitnya.

Ingat bahwa segala tindak tanduk dan standar moral penguasa serta aparat pemerintah akan menjadi cetak biru yang akan menentukan perilaku dan standar moral rakyat.
Politik citra jelas bukan jawaban terhadap persoalan bangsa kita ini. Masyarakat gemah ripah loh jinawi tidak akan bisa dicapai dengan politik citra.

Politik citra hanya akan menyuburkan kemunafikan dan kerakusan di segala kalangan. Suasana penuh paksaan di jaman Orde Baru berganti dengan suasana penuh sogokan di masa Reformasi.

Rakyat disogok di masa pemilu dan pilkada. Ini membuat para konstestan butuh banyak uang untuk ikut bersaing di ajang pemilihan. Politik citra justru membuat ongkos demokrasi jadi luar biasa mahalnya.

Dan setelah menang, mereka akan berusaha mengejar titik impas dengan melakukan korupsi yang semakin ganas. Buntutnya adalah perilaku rakus, korup serta munafik ini ditiru terus oleh masyarakat, standar moral rakyat terperosok lebih dalam lagi.
Pembenahan moral adalah landasan untuk mencapai cita-cita masyarakat yang adil dan makmur tersebut. Dan pembenahan moral itu sudah tidak bisa ditunda-tunda lagi.
Mulailah dengan penindakan yang benar-benar nyata dan tegas terhadap segala macam korupsi. Koruptor yang masih hidup dan belum ditindak harus segera ditindak. Dari masa pemerintahan manapun asalnya, pelaku korupsi tetap harus dihukum seberat-beratnya,

Perut Semar sudah semakin kembung. Jangan sampai dia kentut sembarangan, dan membuat kita hanya bisa tertegun.

Thursday, January 28, 2010

SATU DESA SATU PRODUK?

Dalam keterangannya saat berkunjung ke redaksi Kompas (25/1) kemarin, Menkop & UKM, Syarifuddin Hasan, menyebutkan tentang 4 program yang diusung oleh kementriannya. Keempat program tersebut adalah perbaikan pasar tradisional, pemotongan suku bungan KUR, penajaman regulasi satu desa satu produk dan pelatihan sumber daya manusia untuk menjadi pencipta lapangan kerja.

Dari keempat program tersebut, ada satu program yang perlu kita cermati lebih lanjut. Program tersebut adalah penajaman regulasi satu desa satu produk.

Ide di balik program ini tentunya adalah pencapaian skala ekonomi dari produk-produk yang akan dikembangkan di tiap-tiap desa. Pencapaian skala ekonomi ini nantinya diharapkan bisa memberi manfaat berupa penghematan biaya produksi. Konsentrasi wilayah produksi berarti belanja bahan baku dan kebutuhan lain dalam partai besar, dan ini berarti potongan harga yang berujung pada efisiensi biaya produksi. Dan dengan tercapainya penghematan ini, maka desa tersebut diharapkan untuk bisa bersaing lebih kuat karena akan mampu menawarkan harga jual produk yang lebih murah.

Tampaknya program satu desa satu produk ini akan memberi hasil yang sangat menguntungkan bagi desa-desa yang akan dilibatkan. Dan, besar kemungkinan, pihak kementrian koperasi dan UKM juga sudah membuat kalkulasi – di atas kertas – tentang berbagai keuntungan yang akan bisa diraih oleh desa-desa yang terlibat nantinya.

Benarkah program ini akan memberi manfaat sebagaimana yang diangankan dan dihitung oleh kementrian koperasi dan UKM? Dalam sejarah pelaksanaannya, penerapan keseragaman produk untuk mengejar skala ekonomi ini justru lebih sering menghasilkan berbagai macam bencana lingkungan dan kemanusiaan.

Masalah lingkungan

Masih segar di dalam ingatan kita peristiwa tanah longsor yang terjadi di wilayah Wonosobo, Jawa Tengah. Daerah di pegunungan Dieng ini memang terkenal sebagai salah satu penghasil kentang terbesar untuk kawasan Asia. Masyarakat di sana rata-rata adalah petani kentang. Mereka sudah puluhan tahun mengolah lahan di sana untuk mengembangkan komoditas kentang ini. Dan di wilayah ini pula kita bisa mengumpulkan hampir semua bahan pertimbangan yang dibutuhkan untuk mengetahui resiko bencana lingkungan yang ditimbulkan oleh keseragaman produk.

Karakteristik yang paling menyolok dari dari lahan kentang ada dua. Pertama, penanamannya dilakukan di lahan yang memiliki kemiringan. Kedua, di lahan tersebut akan dibuat alur-alur yang mengikuti arah kemiringan tanah untuk memperlancar aliran air sehinga tidak terjadi genangan.

Pemilihan lahan di tanah yang miring serta pembuatan alur-alur yang mengikuti kemiringan itu dimaksudkan agar tanaman kentang tidak sampai digenangi oleh air. Tanaman ini akan mudah busuk jika sampai tergenang air. Akibatnya, lereng-lereng di pegunungan Dieng dipenuhi oleh lahan kentang. Tanah miring yang seharusnya terisi pepohonan yang kuat dan berakar dalam agar mampu mengikat tanah serta menahan erosi, justru terisi oleh kentang yang hanya sekelas semak dengan akar yang dangkal.

Terjadinya bencana tanah longsor di wilayah pegunungan Dieng ini bukanlah bencana yang tidak terduga.

Sawit juga memberi gambaran yang mirip. Perluasan areal sawit telah memangsa areal hutan alami. Kayu hutan diduitkan, dan lahan yang terbuka dijadikan areal sawit. Ruang hidup satwa penghuni hutan menjadi semakin menyempit. Sering terjadi pertikaian antara masyarakat penggarap lahan sawit dengan ‘masyarakat’ penghuni hutan.

Belum lama ini, sekawanan gajah liar telah berinisiatif untuk memanen paksa buah sawit di lahan garapan masyarakat di sebuah tempat di Aceh. Kumpulan gajah liar ini termasuk beruntung. Mereka memiliki kapasitas fisik dan tenaga yang sangat besar, ditambah lagi dengan ‘kekebalan diplomatik’ sebagai hewan yang dilindungi oleh undang-undang. Alhasil, para penggarap sawit hanya bisa mengadukan kerugian mereka kepada pemerintah. Bagaimana nasib satwa dan flora lain yang tidak masuk dalam perlindungan undang-undang? Tanpa kita sadari, mungkin sudah banyak flora dan fauna yang telah kita punahkan akibat kerakusan kita mengejar angka keuntungan yang lebih besar.

Keseragaman produk di bidang kerajinan juga sangat garang dalam merusak lingkungan. Tentunya banyak dari antara anda yang mengethaui bahwa julukan bagi kota Pekalongan di Jawa Tengah adalah kota batik. Dari julukannya itu, kita bisa melihat bahwa industri yang dominan di kota Pekalongan adalah kerajinan batik. Di samping popularitasnya sebagai kota batik, Pekalongan juga dikenal sebagai kota dengan aliran sungai dan kali yang tercemar berat. Banyak pelaku industri batik di sana yang membuang limbah mereka ke kali dan sungai tanpa pengolahan yang memadai. Efisiensi yang sangat meracuni generasi masa depan.

Di sektor pertambangan, yang paling banyak digarap oleh masyarakat adalah sirtu (pasir dan batu) serta penambangan emas secara tradisional. Para penambang sirtu tidak kalah semangat dalam meninggalkan lubang-lubang bekas galian jika dibandingkan dengan para penambang batu bara yang lebih bermodal dibandingkan mereka. Lokasi tambang sirtu ini tersebar di banyak pulau di negara kita. Sedangkan para penambang emas, banyak dari antara mereka yang memanfaatkan merkuri dalam memisahkan emas dengan material lainnya. Sungai-sungai di Kalimantan mungkin sudah layak untuk dijadikan lokasi tambang merkuri. Selama berpuluh-puluh tahun, ratusan penambang emas tradisional di sana memanfaatkan merkuri untuk proses pemisahan emas dari lumpur dan pasir sungai.

Masalah kemanusiaan

Dalam hal bencana kemanusiaan, persoalannya jauh lebih memusingkan. Jika pemerintah ingin memperbaiki kesejahteraan masyarakat desa dengan cara membangun sentra-sentra produksi di tingkat desa, ada baiknya kalau kasus gitar dan susu berikut ini dipelajari.

Desa Kembangan di wilayah Sukoharjo, Jawa Tengah, adalah desa yang cukup terkenal sebagai penghasil gitar kualitas menengah di Indonesia. Sebelum desa ni menjadi populer di mata para pemodal, parapengrajin di sana menikmati kesejahteraan dan kemerdekaan yang tinggi dengan berbekal produk gitar buatan mereka. Para pedagang yang datang, pada umumnya, hanya berkepentingan untuk membeli produk jadi untuk dijual kembali ke kota-kota lain.

Lalu berdatanganlah para pemodal ke desa ini. Mereka menawarkan pinjaman bahan baku, uang dan jaminan pembelian gitar dalam jumlah besar. Beberapa tahun kemudian, para pengrajin gitar ini sudah terjerat hutang kepada para pemodal. Mau tidak mau, mereka harus mengikuti ketentuan yang dibuat oleh para pemodal.

Penduduk desa, yang mulanya adalah para pengrajin, sekarang sudah turun derajat menjadi kuli bagi para pemodal. Kemerdekaan mereka dalam bertransaksi sudah lenyap, diganti dengan keharusan untuk mengikuti aturan serta hitung-hitungan dari para pemodal.

Dalam kasus gitar ini, kita melihat ketimpangan hubungan antara pengrajin dengan pemodal. Sedangkan dalam kasus susu nanti, kita akan melihat posisi pemerintah yang sangat unik.

Banyak peternak sapi perah di Boyolali dan Grati yang tergabung dalam koperasi susu. Koperasi-koperasi susu ini sebagian besar telah berdiri sejak masa orde baru. Pemerintah memberikan banyak bantuan dan fasilitas kepada koperasi-koperasi susu. Bantuan serta fasilitas yang diberikan tersebut, oleh koperasi-koperasi ini lalu disalurkan kepada para peternak sapi perah dalam bentuk hutang. Dan jerat hutang itu membuat para peternak harus mengikuti ketentuan-ketentuan yang ditetapkan oleh koperasi. Yang menjadi persoalan adalah bahwa sumber dari aturan-aturan tersebut ternyata adalah pihak pabrik susu. Suatu keuntungan yang luar biasa! Tanpa harus memodali para peternak sapi perah, pihak pabrik susu bisa meraih dua keuntungan sekaligus. Pertama adalah kendali atas harga beli susu segar dari peternak. Dan yang kedua adalah keleluasaan untuk mengatur para peternak.

Luar biasa. Dalam kasus susu ini, pemerintah justru menjadi pihak yang mencairkan dana dan fasilitas demi melancarkan niat pihak pabrik susu untuk menguasai dan mengendalikan para peternak sapi perah.

Contoh-contoh di dalam masalah lingkungan juga bisa kita soroti dari sisi problem kemanusiaannya. Petani kentang, penggarap sawit, pengrajin batik. penambang sirtu dan juga penambang emas, adalah anggota masyarakat yang tidak banyak memberi kita kisah yang membahagiakan dalam hubungan mereka dengan para tengkulak, pemilik modal dan – tidak jarang – dengan pemerintah.

Memang sangat bermasalah

Demikianlah, program satu desa satu produk ini, jika kita cermati, sebenarnya lebih banyak kerugian yang akan ditimbulkan daripada keuntungannya. Dari segi lingkungan, keberadaan sentra-sentra produksi berarti pemusatan aktifitas dan material di tempat-tempat tertentu. Hal ini sudah pasti akan memiliki dampak yang sangat berarti bagi lingkungan. Sedangkan dari segi kemanusiaan, kerumunan produsen kecil di titik-titik tertentu adalah mangsa empuk bagi para tengkulak, pemodal besar dan spekulan yang ingin menguasai mereka.

Menuju solusi

Sebenarnya, jika saja kita mau keluar dari kerangka pemikiran yang menjadikan skala ekonomi sebagai asas tunggalnya, kita pasti bisa menghasilkan program yang lebih melestarikan lingkungan, mengangkat tinggi martabat peserta program serta menaikkan daya saing produk mereka.

Untuk dekade 1990-an dan sebelumnya, skala ekonomi memang masih merupakan penentu utama dalam menghadapi persaingan pasar. Namun kita sudah hidup di milenium yang berbeda sekarang. Sekarang ini ada tiga faktor lain yang ikut ambil peranan dalam membantu kita menghadapi persaingan pasar. Pertama adalah kaitan produk dengan lingkungan, lalu kandungan teknologi dan yang terakhir adalah kreatifitas dalam pengembangan produk serta pemasarannya.

Dalam hal kandungan teknologi, mungkin kita masih belum bisa berbicara banyak di lingkungan internasional. Akan tetapi, dalam hal kaitan produk dengan lingkungan serta kreatifitas, kapasitas kita tidak kalah dengan bangsa manapun.

Sukses Facebook adalah salah satu contoh dari perestasi yang bisa dihasilkan oleh kreatifitas. Sedangkan jika anda masukkan kata kunci ‘organic food’ di dalam mesin pencari Google, anda akan bisa dapatkan gambaran tentang kekuatan faktor hubungan produk dengan lingkungan dalam membantu pemasaran.

Bagaimana dengan obat-obatan tradisional? Silakan anda masukkan kata kunci ‘herb’ di dalam mesin pencari Google, dan anda bisa dapatkan gambaran tentang trend kegandrungan konsumen terhadap produk-produk alamiah yang semakin meningkat.

China berhasil menjadi pemain kuat di bidang obat dan pengobatan tradisional ini. Mereka tidak menjerit-jerit tentang sisi ilmiah dari produk mereka. Tidak ada hal yang ilmiah di sana. Yang kerap mereka promosikan adalah sisi alamiah dari produk pengobatan tradisional mereka. Adalah aneh jika pemerintah kita justru gigih ingin mengilmiahkan produk jamu. Pengeluaran besar tanpa pemahaman yang benar tentang sasaran. Hanya karena ingin memuaskan kegenitan para dokter lokal, lalu menteri kesehatan berteriak tentang saintifikasi jamu.

Sebenarnya, ada banyak contoh pengusaha lokal kita yang sudah mampu tampil prima di kancah persaingan bisnis lingkup nasional dan internasional dengan tidak menjadikan skala ekonomi sebagai basis kekuatan mereka. Joger dari Bali terkenal dengan produk pakaian dan cendera mata yang humoris. Reputasi Joger ini sudah mencuat sampai ke taraf internasional. Kesenian tradisional kita juga memiliki popularitas yang sudah menjangkau dunia internasional. Walaupun untuk kasus kesenian tradisional ini kita baru menunjukkan perhatian yang besar disaat ada negara tetangga yang mencoba mengklaimnya. Produsen jamu juga sudah cukup banyak yang memiliki pelanggan setia di luar negeri. Di bidang kuliner, para saudara kita dari Minangkabau sudah menunjukkan eksistensi mereka di dunia internasional dengan ekspansi rumah makan Padang mereka di berbagai negara, dan mereka cukup sukses di negeri rantau.

Dalam hal produk ramah lingkungan, beras organik kita sudah merambah ke beberapa negara. Sayangnya, para petani beras organik itu masih terpasung dengan pola pikir yang mengutamakan skala ekonomi. Mereka masih terbirit-birit berusaha memenuhi pesanan dari luar negeri tanpa bisa menikmati posisi tawar yang kuat. Seharusnya mereka berani mematok harga yang lebih sepadan dengan kemampuan mereka untuk memproduksi beras organik. Tingginya permintaan dari luar negeri mestinya tidak membuat mereka jadi jungkir balik berusaha untuk memenuhinya. Seharusnya, para konsumenlah yang jungkir balik berebut beras organik hasil produksi mereka. Inilah ironi yang akan terjadi jika kita masuk ke arena yang baru dengan pola pikir yang masih lama. Di samping bersa organik, produk pertanian organik kita yang lain juga sudah mulai menunjukkan eksistensi mereka di pasaran internasional.

Di satu sisi, sudah ada sebagian dari bangsa kita yang mulai menapak masuk ke dalam paradigma baru dunia bisnis modern. Dari antara mereka itu, ada yang berhasil beradaptasi dengan baik dengan paradigma baru ini dan menjadi majikan atas produk yang mereka hasilkan. Ada juga yang masih terjerat dalam paradigma lama, sehingga mereka terlihat seperti mahluk aneh – menjadi rebutan tetapi tidak bisa menikmati keuntungan. Di sisi lain, sebagian besar pihak yang berkepentingan dengan perekonomian bangsa ini masih terpenjara oleh paradigma skala ekonomi. Akibatnya, ide dan program yang mereka sajikan justru sangat berpotensi menimbulkan bencana hebat di masa depan. Baik itu bencana lingkungan maupun kemanusiaan.

Pangkas rantai distribusi

Berdiri dengan kepala tegak penuh kebanggaan di tengah pergaulan antar bangsa bukanlah suatu impian muluk. Kita bisa mencapainya dengan langkah-langkah yang sederhana. Kita memiliki modal alam yang sangat mencukupi untuk sampai ke sana. Hal yang akan menjadi ujian berat bagi kita untuk menuju ke sana adalah keteguhan kita dalam melangkah menuju perubahan paradigma tentang dasar-dasar kekuatan untuk maju dalam persaingan pasar. Bergeser dari asas tunggal skala ekonomi menuju ke asas empat pilar (skala ekonomi, keramahan terhadap lingkungan, kandungan teknologi dan kreatifitas) memang bukan perkara yang mudah karena ini menyangkut perubahan pola pikir. Akan tetapi kita bisa memulainya dengan satu langkah yang sangat nyata yaitu memangkas rantai disribusi dari produsen-produsen kecil itu sampai ke konsumen eceran.

Para pedagang di dalam tautan rantai distribusi dari produsen sampai ke konsumen ini kebanyakan hanya merupakan para rent-seeker. Mereka tidak memberi nilai tambah apa-apa bagi produk. Yang mereka lakukan justru menginjak harga jual dari produsen sampai serendah mungkin, lalu menjual produk tersebut kepada konsumen dengan harga baru yang sangat mencekik leher. Dengan demikian, para rent-seeker yang memperpanjang serta mencemari rantai distribusi ini memang harus dipangkas.

Satu contoh pemangkasan rantai distribusi yang sangat menggugah adalah praktek yang sudah dijalankan oleh banyak banjar (dusun) di Bali yang mengalokasikan lahan untuk menjadi ajang bisnis usaha kecil. Arena ini biasa disebut dengan istilah pasar senggol. Di pasar senggol ini pengusaha kecil bertemu langsung dengan konsumen eceran. Bagi pengusaha kecil, pasar senggol adalah tempat menjalankan usaha yang aman dan nyaman. Bagi konsumen, pasar senggol adalah tempat belanja eceran yang murah meriah. Bagi pihak banjar, pasar senggol membantu ketertiban, kebersihan lingkungan serta menambah pendapatan banjar. Contoh lainnya adalah pengembangan lokasi wisata kuliner di kota Solo. Konsepnya mirip dengan pasar senggol, hanya saja yang menjadi penyelengara di sini adalah pemerintah kota.

Jika kita kaitkan dengan pemanfaatan teknologi, maka kita bisa bayangkan situs-situs jejaring sosial sebagai pasar senggol di mana pengusaha kecil dan konsumen eceran bisa berinteraksi dan bertransaksi langsung. Level interaksi itu bahkan bisa menjangkau ke seluruh dunia, sesuai dengan cakupan jangkauan internet itu sendiri.

Dalam rangka memangkas rantai distribusi ini, besar kemungkinan kementrian koperasi dan UKM harus menjalin kerjasama dengan banyak pihak. Namun tidak masalah, sebab manfaat yang sangat besar akan bisa dinikmati jika rantai distribusi ini bisa dibersihkan dari para rent-seeker tersebut. Institusi utama yang akan menjadi pemain pentingnya adalah koperasi. Koperasi harus bisa menjadi pemain aktif yang cukup kuat dalam membela kepentingan para anggotanya. Penguatan modal bukanlah faktor yang paling menentukan bagi tujuan tersebut. Penajaman visi dan semangat juang para pengurus beserta anggota koperasi itulah yang akan menjadi faktor penentu utama apakah koperasi akan mampu menjadi motor dan bumper bagi para anggotanya.

Ajarkan paradigma baru

Sesudah memangkas rantai distribusi, pemerintah bisa mulai berbicara tentang pendidikan paradigma baru bagi para produsen. Para produsen kecil ini sudah mulai perlu untuk diberi pengetahuan bahwa mereka harus bisa menghasilkan produk dengan cara-cara yang menjamin anak-cucu mereka bisa tetap menikmati kualitas lingkungan yang layak bagi kehidupan mereka nanti. Di samping keramahan terhadap lingkungan, para produsen kecil ini juga perlu untuk dibantu agar mampu menghargai dirinya sendiri dalam berbagai satuan ukur. Mereka tidak boleh menilai sukses dan gagalnya kehidupan mereka hanya dari jumlah uang yang bisa diperoleh saja. Masih ada faktor seperti kepuasan kerja, persahabatan dengan konsumen, dan hal-hal lain lagi yang punya peranan yang cukup penting selain uang. Selanjutnya adalah peningkatan kapasitas mereka dengan menambah kemampuan mereka dalam memanfaatkan dan – jika bisa – mengembangkan teknologi yang berkaitan dengan bidang minat mereka. Di samping peningkatan kapasitas melalui pengenalan dan pengemabngan teknologi, maka penggalian kreatifitas juga perlu dilakukan.

Pada akhirnya, pembangunan yang berkelanjutan akan menjadi tahap-tahap yang sederhana dan sangat mampu untuk kita jalankan bersama.