Thursday, January 28, 2010

SATU DESA SATU PRODUK?

Dalam keterangannya saat berkunjung ke redaksi Kompas (25/1) kemarin, Menkop & UKM, Syarifuddin Hasan, menyebutkan tentang 4 program yang diusung oleh kementriannya. Keempat program tersebut adalah perbaikan pasar tradisional, pemotongan suku bungan KUR, penajaman regulasi satu desa satu produk dan pelatihan sumber daya manusia untuk menjadi pencipta lapangan kerja.

Dari keempat program tersebut, ada satu program yang perlu kita cermati lebih lanjut. Program tersebut adalah penajaman regulasi satu desa satu produk.

Ide di balik program ini tentunya adalah pencapaian skala ekonomi dari produk-produk yang akan dikembangkan di tiap-tiap desa. Pencapaian skala ekonomi ini nantinya diharapkan bisa memberi manfaat berupa penghematan biaya produksi. Konsentrasi wilayah produksi berarti belanja bahan baku dan kebutuhan lain dalam partai besar, dan ini berarti potongan harga yang berujung pada efisiensi biaya produksi. Dan dengan tercapainya penghematan ini, maka desa tersebut diharapkan untuk bisa bersaing lebih kuat karena akan mampu menawarkan harga jual produk yang lebih murah.

Tampaknya program satu desa satu produk ini akan memberi hasil yang sangat menguntungkan bagi desa-desa yang akan dilibatkan. Dan, besar kemungkinan, pihak kementrian koperasi dan UKM juga sudah membuat kalkulasi – di atas kertas – tentang berbagai keuntungan yang akan bisa diraih oleh desa-desa yang terlibat nantinya.

Benarkah program ini akan memberi manfaat sebagaimana yang diangankan dan dihitung oleh kementrian koperasi dan UKM? Dalam sejarah pelaksanaannya, penerapan keseragaman produk untuk mengejar skala ekonomi ini justru lebih sering menghasilkan berbagai macam bencana lingkungan dan kemanusiaan.

Masalah lingkungan

Masih segar di dalam ingatan kita peristiwa tanah longsor yang terjadi di wilayah Wonosobo, Jawa Tengah. Daerah di pegunungan Dieng ini memang terkenal sebagai salah satu penghasil kentang terbesar untuk kawasan Asia. Masyarakat di sana rata-rata adalah petani kentang. Mereka sudah puluhan tahun mengolah lahan di sana untuk mengembangkan komoditas kentang ini. Dan di wilayah ini pula kita bisa mengumpulkan hampir semua bahan pertimbangan yang dibutuhkan untuk mengetahui resiko bencana lingkungan yang ditimbulkan oleh keseragaman produk.

Karakteristik yang paling menyolok dari dari lahan kentang ada dua. Pertama, penanamannya dilakukan di lahan yang memiliki kemiringan. Kedua, di lahan tersebut akan dibuat alur-alur yang mengikuti arah kemiringan tanah untuk memperlancar aliran air sehinga tidak terjadi genangan.

Pemilihan lahan di tanah yang miring serta pembuatan alur-alur yang mengikuti kemiringan itu dimaksudkan agar tanaman kentang tidak sampai digenangi oleh air. Tanaman ini akan mudah busuk jika sampai tergenang air. Akibatnya, lereng-lereng di pegunungan Dieng dipenuhi oleh lahan kentang. Tanah miring yang seharusnya terisi pepohonan yang kuat dan berakar dalam agar mampu mengikat tanah serta menahan erosi, justru terisi oleh kentang yang hanya sekelas semak dengan akar yang dangkal.

Terjadinya bencana tanah longsor di wilayah pegunungan Dieng ini bukanlah bencana yang tidak terduga.

Sawit juga memberi gambaran yang mirip. Perluasan areal sawit telah memangsa areal hutan alami. Kayu hutan diduitkan, dan lahan yang terbuka dijadikan areal sawit. Ruang hidup satwa penghuni hutan menjadi semakin menyempit. Sering terjadi pertikaian antara masyarakat penggarap lahan sawit dengan ‘masyarakat’ penghuni hutan.

Belum lama ini, sekawanan gajah liar telah berinisiatif untuk memanen paksa buah sawit di lahan garapan masyarakat di sebuah tempat di Aceh. Kumpulan gajah liar ini termasuk beruntung. Mereka memiliki kapasitas fisik dan tenaga yang sangat besar, ditambah lagi dengan ‘kekebalan diplomatik’ sebagai hewan yang dilindungi oleh undang-undang. Alhasil, para penggarap sawit hanya bisa mengadukan kerugian mereka kepada pemerintah. Bagaimana nasib satwa dan flora lain yang tidak masuk dalam perlindungan undang-undang? Tanpa kita sadari, mungkin sudah banyak flora dan fauna yang telah kita punahkan akibat kerakusan kita mengejar angka keuntungan yang lebih besar.

Keseragaman produk di bidang kerajinan juga sangat garang dalam merusak lingkungan. Tentunya banyak dari antara anda yang mengethaui bahwa julukan bagi kota Pekalongan di Jawa Tengah adalah kota batik. Dari julukannya itu, kita bisa melihat bahwa industri yang dominan di kota Pekalongan adalah kerajinan batik. Di samping popularitasnya sebagai kota batik, Pekalongan juga dikenal sebagai kota dengan aliran sungai dan kali yang tercemar berat. Banyak pelaku industri batik di sana yang membuang limbah mereka ke kali dan sungai tanpa pengolahan yang memadai. Efisiensi yang sangat meracuni generasi masa depan.

Di sektor pertambangan, yang paling banyak digarap oleh masyarakat adalah sirtu (pasir dan batu) serta penambangan emas secara tradisional. Para penambang sirtu tidak kalah semangat dalam meninggalkan lubang-lubang bekas galian jika dibandingkan dengan para penambang batu bara yang lebih bermodal dibandingkan mereka. Lokasi tambang sirtu ini tersebar di banyak pulau di negara kita. Sedangkan para penambang emas, banyak dari antara mereka yang memanfaatkan merkuri dalam memisahkan emas dengan material lainnya. Sungai-sungai di Kalimantan mungkin sudah layak untuk dijadikan lokasi tambang merkuri. Selama berpuluh-puluh tahun, ratusan penambang emas tradisional di sana memanfaatkan merkuri untuk proses pemisahan emas dari lumpur dan pasir sungai.

Masalah kemanusiaan

Dalam hal bencana kemanusiaan, persoalannya jauh lebih memusingkan. Jika pemerintah ingin memperbaiki kesejahteraan masyarakat desa dengan cara membangun sentra-sentra produksi di tingkat desa, ada baiknya kalau kasus gitar dan susu berikut ini dipelajari.

Desa Kembangan di wilayah Sukoharjo, Jawa Tengah, adalah desa yang cukup terkenal sebagai penghasil gitar kualitas menengah di Indonesia. Sebelum desa ni menjadi populer di mata para pemodal, parapengrajin di sana menikmati kesejahteraan dan kemerdekaan yang tinggi dengan berbekal produk gitar buatan mereka. Para pedagang yang datang, pada umumnya, hanya berkepentingan untuk membeli produk jadi untuk dijual kembali ke kota-kota lain.

Lalu berdatanganlah para pemodal ke desa ini. Mereka menawarkan pinjaman bahan baku, uang dan jaminan pembelian gitar dalam jumlah besar. Beberapa tahun kemudian, para pengrajin gitar ini sudah terjerat hutang kepada para pemodal. Mau tidak mau, mereka harus mengikuti ketentuan yang dibuat oleh para pemodal.

Penduduk desa, yang mulanya adalah para pengrajin, sekarang sudah turun derajat menjadi kuli bagi para pemodal. Kemerdekaan mereka dalam bertransaksi sudah lenyap, diganti dengan keharusan untuk mengikuti aturan serta hitung-hitungan dari para pemodal.

Dalam kasus gitar ini, kita melihat ketimpangan hubungan antara pengrajin dengan pemodal. Sedangkan dalam kasus susu nanti, kita akan melihat posisi pemerintah yang sangat unik.

Banyak peternak sapi perah di Boyolali dan Grati yang tergabung dalam koperasi susu. Koperasi-koperasi susu ini sebagian besar telah berdiri sejak masa orde baru. Pemerintah memberikan banyak bantuan dan fasilitas kepada koperasi-koperasi susu. Bantuan serta fasilitas yang diberikan tersebut, oleh koperasi-koperasi ini lalu disalurkan kepada para peternak sapi perah dalam bentuk hutang. Dan jerat hutang itu membuat para peternak harus mengikuti ketentuan-ketentuan yang ditetapkan oleh koperasi. Yang menjadi persoalan adalah bahwa sumber dari aturan-aturan tersebut ternyata adalah pihak pabrik susu. Suatu keuntungan yang luar biasa! Tanpa harus memodali para peternak sapi perah, pihak pabrik susu bisa meraih dua keuntungan sekaligus. Pertama adalah kendali atas harga beli susu segar dari peternak. Dan yang kedua adalah keleluasaan untuk mengatur para peternak.

Luar biasa. Dalam kasus susu ini, pemerintah justru menjadi pihak yang mencairkan dana dan fasilitas demi melancarkan niat pihak pabrik susu untuk menguasai dan mengendalikan para peternak sapi perah.

Contoh-contoh di dalam masalah lingkungan juga bisa kita soroti dari sisi problem kemanusiaannya. Petani kentang, penggarap sawit, pengrajin batik. penambang sirtu dan juga penambang emas, adalah anggota masyarakat yang tidak banyak memberi kita kisah yang membahagiakan dalam hubungan mereka dengan para tengkulak, pemilik modal dan – tidak jarang – dengan pemerintah.

Memang sangat bermasalah

Demikianlah, program satu desa satu produk ini, jika kita cermati, sebenarnya lebih banyak kerugian yang akan ditimbulkan daripada keuntungannya. Dari segi lingkungan, keberadaan sentra-sentra produksi berarti pemusatan aktifitas dan material di tempat-tempat tertentu. Hal ini sudah pasti akan memiliki dampak yang sangat berarti bagi lingkungan. Sedangkan dari segi kemanusiaan, kerumunan produsen kecil di titik-titik tertentu adalah mangsa empuk bagi para tengkulak, pemodal besar dan spekulan yang ingin menguasai mereka.

Menuju solusi

Sebenarnya, jika saja kita mau keluar dari kerangka pemikiran yang menjadikan skala ekonomi sebagai asas tunggalnya, kita pasti bisa menghasilkan program yang lebih melestarikan lingkungan, mengangkat tinggi martabat peserta program serta menaikkan daya saing produk mereka.

Untuk dekade 1990-an dan sebelumnya, skala ekonomi memang masih merupakan penentu utama dalam menghadapi persaingan pasar. Namun kita sudah hidup di milenium yang berbeda sekarang. Sekarang ini ada tiga faktor lain yang ikut ambil peranan dalam membantu kita menghadapi persaingan pasar. Pertama adalah kaitan produk dengan lingkungan, lalu kandungan teknologi dan yang terakhir adalah kreatifitas dalam pengembangan produk serta pemasarannya.

Dalam hal kandungan teknologi, mungkin kita masih belum bisa berbicara banyak di lingkungan internasional. Akan tetapi, dalam hal kaitan produk dengan lingkungan serta kreatifitas, kapasitas kita tidak kalah dengan bangsa manapun.

Sukses Facebook adalah salah satu contoh dari perestasi yang bisa dihasilkan oleh kreatifitas. Sedangkan jika anda masukkan kata kunci ‘organic food’ di dalam mesin pencari Google, anda akan bisa dapatkan gambaran tentang kekuatan faktor hubungan produk dengan lingkungan dalam membantu pemasaran.

Bagaimana dengan obat-obatan tradisional? Silakan anda masukkan kata kunci ‘herb’ di dalam mesin pencari Google, dan anda bisa dapatkan gambaran tentang trend kegandrungan konsumen terhadap produk-produk alamiah yang semakin meningkat.

China berhasil menjadi pemain kuat di bidang obat dan pengobatan tradisional ini. Mereka tidak menjerit-jerit tentang sisi ilmiah dari produk mereka. Tidak ada hal yang ilmiah di sana. Yang kerap mereka promosikan adalah sisi alamiah dari produk pengobatan tradisional mereka. Adalah aneh jika pemerintah kita justru gigih ingin mengilmiahkan produk jamu. Pengeluaran besar tanpa pemahaman yang benar tentang sasaran. Hanya karena ingin memuaskan kegenitan para dokter lokal, lalu menteri kesehatan berteriak tentang saintifikasi jamu.

Sebenarnya, ada banyak contoh pengusaha lokal kita yang sudah mampu tampil prima di kancah persaingan bisnis lingkup nasional dan internasional dengan tidak menjadikan skala ekonomi sebagai basis kekuatan mereka. Joger dari Bali terkenal dengan produk pakaian dan cendera mata yang humoris. Reputasi Joger ini sudah mencuat sampai ke taraf internasional. Kesenian tradisional kita juga memiliki popularitas yang sudah menjangkau dunia internasional. Walaupun untuk kasus kesenian tradisional ini kita baru menunjukkan perhatian yang besar disaat ada negara tetangga yang mencoba mengklaimnya. Produsen jamu juga sudah cukup banyak yang memiliki pelanggan setia di luar negeri. Di bidang kuliner, para saudara kita dari Minangkabau sudah menunjukkan eksistensi mereka di dunia internasional dengan ekspansi rumah makan Padang mereka di berbagai negara, dan mereka cukup sukses di negeri rantau.

Dalam hal produk ramah lingkungan, beras organik kita sudah merambah ke beberapa negara. Sayangnya, para petani beras organik itu masih terpasung dengan pola pikir yang mengutamakan skala ekonomi. Mereka masih terbirit-birit berusaha memenuhi pesanan dari luar negeri tanpa bisa menikmati posisi tawar yang kuat. Seharusnya mereka berani mematok harga yang lebih sepadan dengan kemampuan mereka untuk memproduksi beras organik. Tingginya permintaan dari luar negeri mestinya tidak membuat mereka jadi jungkir balik berusaha untuk memenuhinya. Seharusnya, para konsumenlah yang jungkir balik berebut beras organik hasil produksi mereka. Inilah ironi yang akan terjadi jika kita masuk ke arena yang baru dengan pola pikir yang masih lama. Di samping bersa organik, produk pertanian organik kita yang lain juga sudah mulai menunjukkan eksistensi mereka di pasaran internasional.

Di satu sisi, sudah ada sebagian dari bangsa kita yang mulai menapak masuk ke dalam paradigma baru dunia bisnis modern. Dari antara mereka itu, ada yang berhasil beradaptasi dengan baik dengan paradigma baru ini dan menjadi majikan atas produk yang mereka hasilkan. Ada juga yang masih terjerat dalam paradigma lama, sehingga mereka terlihat seperti mahluk aneh – menjadi rebutan tetapi tidak bisa menikmati keuntungan. Di sisi lain, sebagian besar pihak yang berkepentingan dengan perekonomian bangsa ini masih terpenjara oleh paradigma skala ekonomi. Akibatnya, ide dan program yang mereka sajikan justru sangat berpotensi menimbulkan bencana hebat di masa depan. Baik itu bencana lingkungan maupun kemanusiaan.

Pangkas rantai distribusi

Berdiri dengan kepala tegak penuh kebanggaan di tengah pergaulan antar bangsa bukanlah suatu impian muluk. Kita bisa mencapainya dengan langkah-langkah yang sederhana. Kita memiliki modal alam yang sangat mencukupi untuk sampai ke sana. Hal yang akan menjadi ujian berat bagi kita untuk menuju ke sana adalah keteguhan kita dalam melangkah menuju perubahan paradigma tentang dasar-dasar kekuatan untuk maju dalam persaingan pasar. Bergeser dari asas tunggal skala ekonomi menuju ke asas empat pilar (skala ekonomi, keramahan terhadap lingkungan, kandungan teknologi dan kreatifitas) memang bukan perkara yang mudah karena ini menyangkut perubahan pola pikir. Akan tetapi kita bisa memulainya dengan satu langkah yang sangat nyata yaitu memangkas rantai disribusi dari produsen-produsen kecil itu sampai ke konsumen eceran.

Para pedagang di dalam tautan rantai distribusi dari produsen sampai ke konsumen ini kebanyakan hanya merupakan para rent-seeker. Mereka tidak memberi nilai tambah apa-apa bagi produk. Yang mereka lakukan justru menginjak harga jual dari produsen sampai serendah mungkin, lalu menjual produk tersebut kepada konsumen dengan harga baru yang sangat mencekik leher. Dengan demikian, para rent-seeker yang memperpanjang serta mencemari rantai distribusi ini memang harus dipangkas.

Satu contoh pemangkasan rantai distribusi yang sangat menggugah adalah praktek yang sudah dijalankan oleh banyak banjar (dusun) di Bali yang mengalokasikan lahan untuk menjadi ajang bisnis usaha kecil. Arena ini biasa disebut dengan istilah pasar senggol. Di pasar senggol ini pengusaha kecil bertemu langsung dengan konsumen eceran. Bagi pengusaha kecil, pasar senggol adalah tempat menjalankan usaha yang aman dan nyaman. Bagi konsumen, pasar senggol adalah tempat belanja eceran yang murah meriah. Bagi pihak banjar, pasar senggol membantu ketertiban, kebersihan lingkungan serta menambah pendapatan banjar. Contoh lainnya adalah pengembangan lokasi wisata kuliner di kota Solo. Konsepnya mirip dengan pasar senggol, hanya saja yang menjadi penyelengara di sini adalah pemerintah kota.

Jika kita kaitkan dengan pemanfaatan teknologi, maka kita bisa bayangkan situs-situs jejaring sosial sebagai pasar senggol di mana pengusaha kecil dan konsumen eceran bisa berinteraksi dan bertransaksi langsung. Level interaksi itu bahkan bisa menjangkau ke seluruh dunia, sesuai dengan cakupan jangkauan internet itu sendiri.

Dalam rangka memangkas rantai distribusi ini, besar kemungkinan kementrian koperasi dan UKM harus menjalin kerjasama dengan banyak pihak. Namun tidak masalah, sebab manfaat yang sangat besar akan bisa dinikmati jika rantai distribusi ini bisa dibersihkan dari para rent-seeker tersebut. Institusi utama yang akan menjadi pemain pentingnya adalah koperasi. Koperasi harus bisa menjadi pemain aktif yang cukup kuat dalam membela kepentingan para anggotanya. Penguatan modal bukanlah faktor yang paling menentukan bagi tujuan tersebut. Penajaman visi dan semangat juang para pengurus beserta anggota koperasi itulah yang akan menjadi faktor penentu utama apakah koperasi akan mampu menjadi motor dan bumper bagi para anggotanya.

Ajarkan paradigma baru

Sesudah memangkas rantai distribusi, pemerintah bisa mulai berbicara tentang pendidikan paradigma baru bagi para produsen. Para produsen kecil ini sudah mulai perlu untuk diberi pengetahuan bahwa mereka harus bisa menghasilkan produk dengan cara-cara yang menjamin anak-cucu mereka bisa tetap menikmati kualitas lingkungan yang layak bagi kehidupan mereka nanti. Di samping keramahan terhadap lingkungan, para produsen kecil ini juga perlu untuk dibantu agar mampu menghargai dirinya sendiri dalam berbagai satuan ukur. Mereka tidak boleh menilai sukses dan gagalnya kehidupan mereka hanya dari jumlah uang yang bisa diperoleh saja. Masih ada faktor seperti kepuasan kerja, persahabatan dengan konsumen, dan hal-hal lain lagi yang punya peranan yang cukup penting selain uang. Selanjutnya adalah peningkatan kapasitas mereka dengan menambah kemampuan mereka dalam memanfaatkan dan – jika bisa – mengembangkan teknologi yang berkaitan dengan bidang minat mereka. Di samping peningkatan kapasitas melalui pengenalan dan pengemabngan teknologi, maka penggalian kreatifitas juga perlu dilakukan.

Pada akhirnya, pembangunan yang berkelanjutan akan menjadi tahap-tahap yang sederhana dan sangat mampu untuk kita jalankan bersama.