Tuesday, June 1, 2010

PERIHAL KEMANDIRIAN PANGAN

Kekayaan bangsa kita dalam wujud kesuburan alamnya adalah anugerah yang sangat besar. Kita punya banyak variasi flora dan fauna yang hanya ada di wilayah kita. Variasi jenis lahan kita juga beragam. Mulai dari lahan berpasir sampai lahan gambut. Ada lahan tepian pantai dan ada juga lahan dataran tinggi. Kita juga punya lahan yang menganggur. Di samping itu, iklim tropis yang tidak mengenal perbedaan temperatur ekstrim yang dikombinasi dengan rangkaian pegunungan berapi aktif melengkapi kekayaan tanah air kita dalam hal kesuburannya.

Nenek moyang kita menyikapi limpahan anugerah alam ini dengan kreatif. Berbagai suku bangsa di Indonesia sejak jaman dulu telah mengembangkan berbagai macam tanaman sebagai makanan pokok mereka. Ada beras, jagung, singkong dan sagu. Dipadu dengan aneka sayur, buah, ternak dan ikan dari laut, hasilnya adalah keanekaragaman makanan sehari-hari.

Sayangnya, di jaman sekarang ini, variasi menu makanan pokok kita semakin mengerucut ke jenis-jenis bahan pangan tertentu saja. Pola konsumsi yang merdeka menjadi semakin langka. Harus ada beras. Harus ada terigu. Harus ada daging sapi. Harus ada ini dan itu. Akibatnya sangat jelas, bangsa kita menjadi terpaku pada produksi beberapa gelintir bahan pangan, dan jika tidak bisa dicukupi maka harus dilakukan impor dalam jumlah yang tidak sedikit.

Berbagai analisis sudah diajukan oleh para pakar yang berkepentingan dengan keruwetan masalah bahan pangan ini. Pada umumnya, kesimpulan yang mereka sajikan adalah kesimpulan yang menyalahkan pemerintah. Mulai dari ketidakberesan tata ruang, ketidakjelasan sikap pemerintah terhadap nasib para petani, kelemahan pemerintah dalam menolak barang jualan bangsa lain, sampai dengan kecurigaan pada agenda pengerukan anggaran demi pembiayaan aktifitas politik. Banyak sumber masalah yang ditelisik oleh para pakar itu, dan semuanya dirangkai dengan satu bumbu penyedap: “Timpakan segala kesalahan ke pundak pemerintah, tidak peduli pemerintah yang sekarang atau pun pemerintah yang dulu.”

Baiklah, bisa jadi para pakar itu memang punya landasan yang memadai untuk menyalahkan pemerintah. Mungkin kita memang layak untuk menyalahkan pemerintah tanpa harus peduli dari periode manapun mereka. Mungkin semua masalah ini memang timbul karena pemerintah. Pemerintah yang dulu membuat kesalahan, dan pemerintah yang sekarang melanjutkannya. 

Namun tindakan serba menuding mencari terdakwa ini juga tidak akan menyelesaikan urusan. Baguslah kalau pemerintah mau disalahkan. Bagaimana kalau tidak mau? Bukankah kita akan masuk ke dalam drama saling tuding ala Susno Duadji dan Mabes Polri? Mana yang cicak? Mana yang buaya? Mana yang kerbau? Atau mungkin drama saling tuding ala kasus Century di gedung DPR yang sekarang menghasilkan mahluk aneh: Setgab Koalisi yang punya kubangan khusus di kawasan lumpur Lapindo.

Kita memang harus tetap hidup. Dan untuk itu, makanan harus selalu tersedia. Bukan hanya selalu tersedia saja, kita juga harus berpikir bagaimana menyediakannya tanpa harus bergantung pada barang jualan bangsa lain. Menggadaikan perut bangsa ini ke tangan bangsa lain adalah kebodohan yang akan berujung pada cengkeraman kepentingan mereka pada negeri kita.

Nalar yang tertidur

Tingkat pendidikan rata-rata warga negeri kita semakin hari semakin tinggi. Mestinya hal ini bisa menjadi modal bagi bangsa kita untuk membangun suatu pola konsumsi yang rasional. Pola konsumsi yang bisa dilandasi oleh nalar tentang nilai gizi, produktifitas dan ongkos produksinya. Terlepas dari apakah pemerintah kita pintar atau pun bodoh dalam mengelola kebutuhan pangan rakyat, seharusnya kita bisa menjalankan pola konsumsi kita dengan rasional.

Namun apa yang dilakukan oleh bangsa kita? Bekal pendidikan itu seperti tidak ada jejaknya. Segala macam pengetahuan debet-kredit, untung-rugi, ilmu gizi dan statistik itu tidak menghasilkan pola konsumsi masyarakat yang rasional.

Perilaku bangsa kita memang cenderung aneh. Di kantor dan di pabrik, efisiensi adalah salah satu kata kunci yang bisa menentukan promosi ataupun pemecatan terhadap diri seseorang. Bahkan di sawah pun, efisiensi tetap merupakan variabel yang sangat diperhitungkan. Lalu, di mana jejak efisiensi itu dalam hal berkonsumsi? Dalam urusan konsumsi, efisiensi dipuji dalam ucapan tetapi diharamkan dalam tindakan.

Rasa superior harus ditegakkan. Makanan murah, walaupun bergizi tinggi, adalah simbol kemiskinan yang harus dihindari. Perilaku semacam ini jelas butuh biaya besar. Namun efisiensi menjadi tidak penting dalam urusan simbol-simbol ini. Alhasil, rakyat ngotot mengkonsumsi bahan-bahan pangan yang dianggap ‘bersih lingkungan’ – yang tidak berafiliasi dengan tema kemiskinan.

Gandum menjajah wilayah kuliner kita sampai jauh ke dalam kehidupan rakyat. Gandum yang bukan tanaman asli negeri kita diimpor dalam jumlah besar-besaran. Gandum menguasai begitu banyak resep masakan. Kita punya banyak sumber pangan yang bisa diolah menjadi tepung. Walaupun rasa yang akan dihasilkan mungkin tidak bisa persis sama, tetapi banyak produk olahan tepung singkong yang sudah bisa menyaingi rasa tepung terigu yang berasal dari gandum ini. Nah, bangsa kita tidak peduli. Harus gandum. 

Gandum bukan tanaman yang cocok dikembangkan di negeri kita. Kita tidak bisa memproduksi gandum secara produktif dan efisien. Tidak masalah, harus gandum. Mulai dari roti ala Eropa sampai dengan jajan pasar, bahkan tempe goreng harus berselimut gandum untuk bisa laku dijual.

Bangsa ini bergenit-genit dengan konsumsi daging sapi. Tidak peduli apakah pasokannya mencukupi atau tidak, daging sapi harus tersedia. Kita memiliki wilayah negeri yang dua per tiganya adalah lautan. Dan itu berarti kita punya potensi pemenuhan daging dari ikan laut. Pemenuhan kebutuhan daging kita, yang tidak terpenuhi oleh hewan ternak darat, semestinya bisa dicukupkan dengan variasi konsumsi ikan laut. Ternyata ikan laut yang tersedia melimpah itu kita abaikan. Kekayaan laut kita dicuri habis-habisan oleh para nelayan asing. Dan kita tenang-tenang saja. Biarlah makanan untuk orang miskin itu dicuri oleh nelayan asing. Daging sapi harus tersedia. Dan pemerintah mengimpor ratusan ribu ekor sapi per tahun.

Makan serasa belum makan kalau yang tidak makan nasi. Beras harus tersedia. Bangsa kita memang sudah sejak lama menghasilkan beras. Tetapi beras bukanlah bahan pangan yang bisa dihasilkan dalam tingkat produktifitas yang mampu memenuhi kebutuhan makanan pokok seluruh awak negeri. Beberapa jenis jagung bisa diolah untuk dikonsumsi seperti beras. Kita mengenal nasi jagung, dan nasi jagung memiliki rasa gurih khas yang seharusnya bisa menjadi variasi konsumsi makanan pokok kita. Kita juga punya jenis-jenis singkong yang belakangan ini produktifitas per hektarnya sudah semakin melesat. Prestasi tertinggi yang sanggup dicapai oleh singkong sudah mencapai lebih dari seratus ton per hektar. Jauh di atas padi yang hanya bertengger di angka enam sampai delapan ton per hektarnya. Singkong juga bisa diolah menjadi gula yang cocok untuk kepentingan industri makanan-minuman. Dan kita juga punya sagu, yang walaupun perlu menunggu cukup lama untuk bisa dipanen, tetap bisa dijadikan variasi konsumsi yang memadai untuk kebutuhan karbohidrat kita. Padi boros air, padahal sekarang ini saja kita sudah harus membeli air untuk keperluan sehari-hari. Masyarakat tidak peduli, makan tetap serasa belum makan kalau tidak makan nasi dari beras.

Nah, apa pun itu, yang penting beras. Beras tidak tersangkut kemiskinan. Jagung dan singkong terlalu lekat dengan aroma kemiskinan. Apa pun analisis gizi dan produktifitas jagung serta singkong, rakyat menuntut beras. Bahkan raskin (beras miskin) tetap lebih diminati daripada jagung dan singkong. Jagung dan singkong dijadikan bahan bakar saja. 

Penduduk semakin banyak dan produktifitas padi kita hanya segitu-segitu saja. Tidak masalah, tetap beras. Kita bikin food estate. Food estate akan mengakumulasi dan mengkonsentrasikan pemakaian pupuk serta pestisida kimia secara masif di satu lokasi. Kita tidak bisa menghayal tentang pupuk organik di lahan yang luasnya mencapai 1,5 juta hektar. Peluang untuk lolos dari bencana lingkungan sangat tipis. Tidak masalah, tidak usah dipikirkan, cetak saja.

Itu baru urusan karbohidrat dan protein. Bagaimana dengan serat dan vitamin? Dalam kedua urusan ini, anda bisa buktikan sendiri. Di tengah fenomena pembagian raskin yang ditingkahi oleh berbagai macam korupsi, kita bisa melihat aneka macam buah-buahan dari luar negeri dipajang di pinggir-pinggir jalan. Dan itu semua masih ditambah dengan serat serta vitamin yang berasal dari pohon jenis baru: pabrik.

Bangunlah dari tidur!

Gemah ripah loh jinawi bukanlah kondisi yang utopis. Kita bisa mencapai kondisi tersebut cukup dengan meletakkan nalar sesuai pada tempatnya. Kita sudah bisa memakai nalar dalam berbisnis dan bekerja. Kita tinggal memakai nalar yang sama dalam berkonsumsi. Itu saja sudah akan menjadi suatu langkah besar yang membawa kita pada kondisi berkecukupan mengingat kesuburan alam kita. Merdekakan pola konsumsi, lahirkan kembali keanekaragaman makanan pokok, dan kita sudah mendapat energy-boost (maaf, memakai bahasa para gamer) untuk kemandirian pangan serta siap menuju cita-cita masyarakat sejahtera yang berkelimpahan.

Kalau kita tetap berpegang pada pola konsumsi yang sekarang, maka tak lama lagi kita akan berebut air dengan padi. Lalu siapa yang akan dimenangkan? Ikan-ikan di laut kita akan habis dicuri nelayan asing disaat kita getol membeli sapi dengan harga mahal dari Australia. Perut kita jadi tidak mau lepas dari terigu yang berasal dari gandum. Bangsa-bangsa produsen gandum memperoleh senjata penekan yang kuat dalam berdiplomasi dengan kita. Buah-buahan kita juga akan tergusur oleh buah-buahan impor berbungkus lilin, yang dijual sampai ke pinggir jalan. 

Kita bisa mengambil tindakan segera dengan dampak yang akan langsung terasa, yakni kemandirian pangan. Perubahan pola konsumsi adalah tindakan yang mengandalkan inisiatif rakyat. Dan itu bisa dicapai cukup dengan mengaktifkan nalar dalam berkonsumsi. Kecukupan gizi sangat bisa dipenuhi secara mandiri dan murah. Aktifkan nalar dan kita akan bisa melihat bahwa masalah pangan bangsa ini sebenarnya tidak segawat yang digembar-gemborkan oleh banyak kalangan. Tidak perlu kita berteriak-teriak menuntut pemerintah untuk bisa memahami ini dan itu dalam urusan pangan. Kalau rakyat mau mengaktifkan nalar dalam berkonsumsi, maka tingkat kecerdasan pemerintah akan menjadi variabel yang bisa kita singkirkan dari urusan ketahanan pangan.